Sunday, December 28, 2008

INDONESIA PERLU MIMPI

Oleh Yaumil Jannah, ST
Staf Kaderisasi PW Salimah Sulawesi Selatan

(Tanggapan Atas Tulisan Fajlurrahman Jurdi di Tribun Opini, Sabtu 27 Desember 2008)

Tahun 1899 di Amerika, dua orang anak muda yang sehari-harinya bekerja di bengkel sepeda memulai sebuah pekerjaan dari ide yang oleh tetangga dan masyarakat disekitarnya mereka sebut fantasi “orang gila”. Betapa tidak, yang ingin mereka buat adalah sebuah alat yang mampu membawa manusia terbang di angkasa seperti burung. Tapi sebutan “orang gila” dari hampir seluruh manusia di zamannya itu tidak menyurutkan cita-cita Wright bersaudara untuk menuntaskan “fantasi”nya. Pada bulan Desember 1903, sesudah kerja keras selama empat tahun lebih sedikit, hasil usahanya berhasil dengan gemilang. Lebih satu abad kemudian, yaitu hari ini, justeru mereka yang tidak percaya pada fantasi Wright bersaudara disebut “orang gila”.

Parade Orang Gila

Sebutan orang gila juga disematkan kepada Thomas Alfa Edison ketika menyampaikan “fantasinya” tentang bola pijar, juga kepada Alexander Graham Bell ketika mengajukan “fantasinya” tentang telepon. Bahkan di jaman yang mulai modern sekalipun seorang anak muda bernama Frederick W. Smith (pendiri FedEx) juga pernah disebut “orang gila” oleh kawan-kawannya dan diberikan nilai “C” oleh Profesornya di Universitas Yale ketika menulis paper mengenai ide pengiriman barang secara ekspress. Dan masih banyak nama-nama manusia yang telah mengukir sejarah, pernah disebut “orang gila”. Namun ketika seluruh fantasi mereka itu telah terangkum dan terakumulsi menjadi sebuah peradaban, orang tak pernah lagi mengingat bahwa mereka pernah digelari “orang gila”.

Membaca tulisan Fajlurrahman Jurdi pada kolom Tribun Opini hari Sabtu, 27 Desember 2008 sungguh menggelitik saya. Ada ironi besar antara jabatannya yang mentereng sebagai Direktur Eksekutif sebuah lembaga pusat kajian politik dan sosial dengan cara pandangnya tentang teori perubahan. Jika pelaku-pelaku perubahan dalam sejarah manusia adalah mereka yang kepalanya dipenuhi obsesi dan fantasi tentang masa depan, maka sang Direktur justru mengahkimi “fantasi” seseorang atau sebuah partai mau pun suatu bangsa sebagai kahayalan-khayalan yang menjijikkan. Mudah-mudahan bukan karena karena sang Direktur jarang membaca buku-buku biografi.

Maju Karena Mimpi

Amerika maju seperti sekarang ini bukanlah karena Amerika bangsa yang sangat cerdas. Lihat saja hasil Olimpiade Sains dewasa ini, pemenangnya sebagian besar bukanlah bangsa Amerika, tetapi orang-orang Eropa timur, China, bahkan belakangan juga Indonesia. Kemajuan mereka juga bukanlah semata-mata karena kedisiplinan kerja. Bangsa-bangsa Asia seperti Jepang, Korea dan China bahkan jauh lebih disiplin. Kunci kamajuannya adalah karena Amerika merupakan “mesin mimpi” terbesar di dunia. Di Amerika setiap orang bebas memiliki mimpinya sendiri. Bahkan setiap orang di dorong dan difasilitasi mewujudkan mimpinya oleh negara. Pemerintah menyiapkan dana besar-besaran bagi orang-orang “gila” melalui venture capital (VC). Jadi jangan heran jika banyak ide “gila” yang muncul di Amerika. Bahkan terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden Amerika Serikat saat ini juga salah satunya disebabkan oleh jualan mimpi Obama: “Hope” dan “Change”.

Oleh karena itu, serangan Fajlurrahman kepada PKS atas mimpinya tentang Indonesia lebih mirip ideologi komunis yang melarang seseorang, atau sebuah partai untuk memiliki obsesi dan cita-cita. Bahkan lebih “Soeharto” dari Soeharto itu sendiri yang telah beliau maki dalam tulisannya. Juga pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam tulisan tersebut (entah sengaja atau tidak) seperti “menjijikkan”, “orang gila”, “kebusukan”, “tidak waras”, “keluar dari Islam”, menunjukkan “kekerasan intelektual” seorang cerdik pandai selevel beliau. Sehingga kesan yang muncul setelah membaca tulisan ini tentu saja hanya kesan amarah dan dendam, bukan kesan intelektual.

Indonesia Perlu Mimpi

Mestinya bangsa ini memberikan apresiasi terhadap gagasan-gagasan segar PKS. Di tengah kegamangan semua partai politik di negeri kita tentang Indonesia apa pasca orde reformasi, PKS menghadirkan sebuah “fantasi” yang telah dijabarkan dengan begitu lengkap dalam Platform Pembangunannya. Di saat tokoh-tokoh nasional bangsa ini saling sikut dan membual tentang janji-janji politik, justru PKS datang dengan semangat kebersamaan dan kerjasamanya. Pada saat sebagian intelektual muda mulai putus asa dengan tingginya tembok politik paternalistik yang ada, PKS datang dengan ide pemimpin mudanya. Bahkan di saat tak ada lagi ide baru tentang Indonesia, PKS hadir dengan slogan: “Bangkit Negeriku Harapan Itu Masih Ada”. Sebab Indonesia adalah bangsa yang membutuhkan sebuah mimpi.

Dan seharusnya tak perlu ada yang sakit hati dengan semua mimpi-mimpi PKS itu. Sebagaimana orang lain tak perlu sewot dengan obsesi dan mimpi kita masing-masing. Itu adalah hak PKS sebagaimana Golkar, PDIP atau PBB juga punya hak yang sama. Toh, mimpi PKS itu tidaklah menyakiti siapapun atau hendak mencederai siapapun. Apalagi jika kita sendiri bukanlah bagian dari orang yang harus berdarah-darah dan bergelimang air mata untuk membesarkan PKS, apa urusannya? Biarkanlah waktu yang akan berbicara nantinya, siapakah yang lebih pantas disebut “gila”, PKS ataukah para pengkritiknya.

Akhiri Polemik Ini

Meskipun PKS telah menjadi bahan skripsi dan desertasi doktoral banyak orang sejak berdirinya, namun itu belumlah cukup untuk menyimpulkan PKS sebagai partai hina atau mulia. Memperdebatkannya panjang lebar pun tidak akan mampu menambah kemuliaan atau kehinaan bagi PKS. Oleh karena itu jauh lebih bijaksana jika bangsa ini memberikan kesempatan kepada PKS untuk membuktikan ketulusan niatnya, kebenaran janji-janjinya, dan realisasi obsesinya. Sebagaimana bangsa ini juga telah memberikan kesempatan yang sama kepada Golkar, PDIP, PKB dan Partai Demokrat. Setelah itu, silahkan seluruh bangsa ini bebas menilai PKS.

Dan untuk sahabat Fajlurrahman, sederhanalah dalam mengkultuskan guru-guru kita. Azwar Hasan hanyalah manusia biasa yang bisa keliru seperti juga kita. Ide yang beliau tuangkan dalam Tribun Opini sebelumnya toh tak lebih hanyalah tambal sulam dari tulisan orang lain di website Tempo Interaktif tanggal 24 Nopember 2008. Mudah-mudahan ini tidak termasuk “plagiat” ide, sebuah kejahatan terbejat dalam dunia akademisi. Dan janganlah kebencian Anda terhadap suatu kaum, mendorong Anda untuk berlaku tidak adil (QS. 5:8). Jangan karena hanya sebuah iklan, sahabat Fajlurrahman tega menuding “gila”, munafik, bahkan murtad dari agama Allah, suadara-saudara seiman yang belum tentu lebih buruk dari diri Anda. Na’udzu billahi min dzalik!.

Selengkapnya…

Friday, December 26, 2008

5 CIRI DZAHIR KADER PKS

Jika Anda kader PKS, maka mulailah berkaca diri. Setidaknya magut-magut di depan cermin untuk memperhatikan secara seksama apakah ciri-ciri dzahir kader PKS sudah ada pada diri Anda. Setidaknya ada 5 ciri dzahir kader PKS yang disampaikan oleh Ust. Qodar Slamet dari BPK DPP yang kemarin sempat memberikan taujihnya di BAPELKES Makassar:

Ciri pertama, Simple (sederhana).
Artinya, kader PKS dalam menjelaskan pemikirannya (fikrah), ide dan gagasannya selalu sederhana. Tidak jelimet dan rumit. Menjelaskan Islam dengan sederhana. Tidak perlu menggunakan filsafat dan logika yang panjang, berbelit-belit, bertele-tele, namun kabur makna. Simple! Menjelsakan platform dan tahapan perjuangannya juga dengan simple. Memahami politik juga dengan simple. Tidak dikabur-kaburkan apalagi membohongi. Bahkan sesuatu yang rumit untuk dicerna, diolah sedemikian rupa sehingga ketika dibawa ke tengah masyarakat semuanya menjadi simple. Oleh karena itu kader PKS yang sesungguhnya mudah bergaul dengan siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak pandang status sosial, pekerjaan, pendidikan, ideologi, apalagi agama. Simple!

Lawan simple adalah rumit. Sesuatu yang sederhana selalu dibuat rumit. Sesuatu yang mudah selalu dibuat sulit. Islam dipahami dengan begitu rumit, hingga orang putus asa untuk mampu memahaminya. Bahasanya tinggi, tak terjangkau oleh orang biasa-biasa saja. Politik di pahami dengan sangat rumit. Apalagi integrasi politik dan dakwah, menjadi maha rumit, sangking rumitnya tak bisa dijelaskan kepada orang biasa-biasa. Bahkan mungkin, saking rumitnya hingga memang tak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia. Na’udzu billah…

Ciri kedua, Ash-Shalah.
Artinya, kader PKS senantiasa memperhatikan shalat. Bukan hanya kewajiban menjalankan atau tidak, tetapi memperhatikan seluruh unsur keutamaannya. Oleh karena itu kader PKS adalah mereka yang menjaga shalat berjamaahnya di Masjid, bukan di luar Masjid. Hanya udzur syar’i (hujan atau sakit) yang betul-betul mampu menghalangi kemauan kader PKS untuk meluncur ke Majid saat adzan telah dikumandangkan. Dan indikator utamanya adalah shalat Subuh. Sebab shalat Subuh inilah indikator keimanan atau kemunafikan seorang muslim menurut Rasulullah Saw.

Ciri ketiga, At-Tilawah (Tilawatil Qur’an).
Artinya, kader PKS senantiasa bersama Al-Qur’an dalam setiap jengkal hidupnya. Selalu ada mushaf menemani langkahnya. Dan pada setiap waktu yang senggang, tak peduli dimanapun, kader PKS selalu tilawah. Al-Qur’an begitu dicintainya, hingga ia ada di sakunya, di HP-nya, di Laptopnya, di PC-nya, bahkan di blognya. Subhanallah!

Demi Al-Qur’an, kader PKS meninggalkan perbuatan sia-sia, seperti: Bercengkrama ngolor-ngidul nda’ ada temanya (apalagi ngomongin ikhwan atawa akhwat ter keren sa’ jagad raya), kongkow-kongkow di sekretariat sambil ketawa-ketiwi sampai ashma, mainin FIFA 2009 sampe jam 3 subuh (nah siapa itu ya?), atau nonton film-film terbaru tiga kali sehari (kayak minum obat saja). Semua itu ditinggalkan demi kekasih tercinta, Al-Quranul Kariim…

Ciri keempat, Al-Jundiyah (militan).
Ciri militansi adalah “kami dengar, kami laksanakan” (sami’na wa atha’na), itulah ciri kader PKS. Militansi pertama adalah militnasi pada perintah Allah, yaitu bersegera melaksanakan perintah-perintah Allah SWT, baik yang di dengarkan dari Al-Qur’an maupun dari hadits-hadits Nabi. Tidak terbiasa menunda-nunda melakukan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab bagi kader PKS, hidup adalah hari ini, dan esok adalah sesuatu yang tidak pasti.

Militansi kedua adalah miltansi pada perintah qiyadah. Seberat apa pun atau sesepele apapun perintah itu. Entah itu perintah membuka medan da’wah baru di pulau antah berantah, atau hanya sekedar menjadi tukang sapu-sapu di markaz da’wah, semuanya dilaksanakan dalam ketaatan. Baik dalam lapang, maupun dalam sempit. Baik dikala senang, maupun dikala susah. Dalam keadaan apa pun, kader PKS senantiasa amanah dengan perintah yang telah diberikan padanya. Tak peduli qiyadahnya berusia sangat muda, yang pengalamnnya masih sebiji jagung, apalagi tergolong yunior dalam masa tarbiyah, jika dia adalah qiyadah, maka kader PKS siap melaksanakan amanahnya…

Ciri kelima, Al-Akhlaq.
Artinya salah satu cara mengenali kader PKS adalah pada akhlaknya. Mereka memiliki akhlak dan perangai yang unik, sopan, santun, murah senyum, rendah hati, suka menolong, berkata lembut, penyayang dan sebagainya. Kumpulan akhlakul karimah itu terpancar dari hati mereka yang bening oleh dzikir, pikiran mereka yang jernih oleh tarbiyah. Mereka tak rela melihat tetangga krelaparan. Merek tak tega melihat orang lain kesusahan. Mereka begitu hilm, dan air mata mereka mudah menetes oleh fenomena hidup yang beraneka warna.

Mereka begitu menghargai dan menghormati siapa saja, bahkan terhadap yang membencinya sekalipun. Dari mulut mereka senantiasa mengalir kata-kata yang menggugah, kalimat-kalimat penuh kasih sayang. Kader PKS anti kekerasan, sampai kapan pun. Tangan mereka begitu ringan untuk menolong siapa pun. Karena itu mereka mudah di temukan di setiap lokasi bencana. Mereka selalu berada di garis depan membantu mereka yang dirundung musibah. Dan mereka tidak suka hanya banyak bicara, mereka cinta pada kerja nyata.

Nah, bagi yang merasa kader PKS dan membaca tulisan ini. Marilah sejenak kita mengukur diri, sudahkah da’wah ini kita jiwai. Jika belum, masih ada waktu untuk memperbaiki diri. Jangan sampai, da’wah yang begitu indah ini menjadi rusak hanya oleh karena tampilan zhahir kita tak pernah sejalan dengan pesan yang dakwah ini inginkan. Mari benahi diri Akhi, Ukhti, agar da’wah ini merambah ke dalam hati dan jiwa-jiwa ummat yang sedang mencari jati diri.

Dan tulisan ini, ku tulis untuk diriku sendiri, untuk jadi cemeti, agar hari-hari esok aku bisa lebih baik lagi, Amin…
Selengkapnya…

Sunday, December 21, 2008

MENGOMENTARI AKSI MAHASISWA

Beberapa hari belakangan ini demonstrasi mahasiswa kembali marak di sejumlah daerah. Bahkan di Makassar demonstrasi mahasiswa mendapatkan perlakuan represif dari aparat secara berlebihan. Di beberapa daerah lain pun demikian. Temanya satu, menolak UU BHP Perguruan Tinggi di Indonesia. Aturan baru (meskipun wacananya sudah sangat lama) yang dalam kaca mata mahasiswa akan mejadi tirani baru dalam dunia pendidikan di masa yang akan datang.

Sebagai mantan aktivis mahasiswa di era kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, saya juga ingin memberikan penilaian atas aksi-aksi sporadis demonstrasi mahasiswa yang belakangan terjadi. Pertama secara pribadi saya sangat mengapresiasi gerakan-gerakan perlawanan kalangan kampus menanggapi pengesahan UU BHP tersebut. Teorinya tidak perlu panjang lebar, memang tugas mahasiswalah yang seharusnya menjadi institusi demokrasi yang kelima di negeri ini. Gerakan massa tersebut merupakan salah satu bentuk penunaian kewajiban mereka, disamping kewajiban belajar tentu saja. Sebab institusi parlemen yang diharapkan terlalu mengecewakan.

Saya berani mengatakan Anggota Dewan yang terhormat itu mengecewakan. Untuk hanya sekedar hadir dalam sidang-sidang paripurna yang sudah merupakan tugas utamanya saja sebagian mereka begitu malas, apalagi untuk mendengarkan suara hati rakyat yang mengakunya mereka wakili. Padahal, mahasiswa juga adalah rakyat. Yang menyakitkan adalah komentar-komentar mereka yang rada intelek dan ilmiah di televise bahwa sidang-sidang itu terlalu panjang dan membosankan. Pernyataan yang terlalu goblok menurut saya, sebab di tempat lain ketika mendengar pernyataan itu, tukang becak saja pandai berkata, “Lha ngapain Sampean masih jadi Anggota Dewan? Makan gaji buta aja…” Hehehe..lucu…

Salut buat sahabat-sahabat mahasiswa!!!

Tetapi satu hal yang membuat prestasi itu tercederai, yaitu pada pilihan strategi aksi yang harus merugikan rakyat. Salah apa rakyat sama kalian, kawan? Haruskan jalan mereka tertutup karena kesalahan pemerintah itu? Perlukah kendaraan mereka rusak oleh lemparan hanya karena amarah yang salah alamat? Tahukah Anda bahwa dari sekian banyak rakyat yang Anda tahan itu ada orang sakit yang segera butuh pertolongan? Tahukah Anda bahwa di antara antrian kemacetan itu ada ibu hamil yang mengerang kesakitan?

Menurut saya strategi aksi itu terlalu berlebihan. Kebenaran tak harus memakan korban untuk bisa diungkapkan. Apalagi jika mereka yang korban itu adalah rakyat, gelar yang kepadanya kita bersumpah setia untuk membela kepentingannya. Yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa mahasiswa harus berjuang sendirian. Niat mulia yang tercederai hanya karena pilihan metode yang salah alamat. Lalu rakyat marah… marah pada kita, bukan pada pemerintah…

Tapi jangan pernah berhenti kawan! Era kalian adalah masa pembelajaran. Langkah itu tak boleh berhenti hanya karena sedikit kesalahan. Toh bukan idealisme itu rusak, hanya persoalan teknis yang mengandung unsur ijtihad. Jangan pernah berhenti melawan tirani. Sebab berhenti adalah pengkhianatan terhadap janji. Janji pada kebenaran tentu saja…

Dan buat Polisi, entah kapan masanya mereka itu digantikan oleh manusia-manusia yang lebih mirip manusia ketimbang hewan. Sebab saya percaya, serusak apa pun suatu kaum, suatu komunitas, suatu institusi, pada akhirnya mereka akan mati dan digantikan oleh generasi yang lebih baik lagi. Semoga Tuhan mempercepat pergantian mereka itu hingga muncul sebuah generasi Polisi yang dapat meluruskan sejarah hitam dunia kepolisian…

Selengkapnya…

Friday, December 19, 2008

MISI POLITIK PKS 2009

Saya cukup kaget membaca tribun opini hari kamis 18 Desember 2008 kemarin. Ada dua hal yang membuat saya kaget pada kolom tersebut. Pertama adalah judulnya yang dalam kacamata saya sebagai orang awam ilmu komunikasi cenderung menghukum. Bahkan dalam sudut pandang politik judul ini dapat dikategorikan sebagai operasi politik tingkat tinggi berupa character assassination (pembunuhan karakter) mengingat momentum Pemilu tinggal menghitung hari. Dan tentu saja efek operasi ini (entah pesanan atau tidak) telah menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Kekagetan yang kedua adalah karena penulisnya, seorang tokoh intelektual yang sangat saya kagumi. Beliau adalah guru, ulama sekaligus pakar komunikasi yang tidak diragukan integritasnya. Namun disinilah yang membuat hati saya kurang nyaman jika melihat kembali kolom ini. Judul yang sangat menyerang sebagai pesan (message) bertemu dengan ketokohan penulis sebagai sumber (source), disadari atau tidak, telah menjadi propaganda efektif untuk membunuh PKS sebagai objek, setidaknya untuk tingkat Sulsel.

Terlepas dari penghormatan saya kepada penulis, melalui tulisan ini setidaknya saya sebagai masyarakat biasa yang peduli politik ingin menyampaikan pandangan atas opini Ust. Azwar Hasan tentang PKS. Dari berbagai manuver politik yang sudah dilakukan oleh PKS pada tingkat nasional, saya membaca bahwa PKS sedang menyampaikan pesan tentang misi PKS menjelang Pemilu 2009 kepada kita, bukan pada konteks Soehartonya, tapi pada narasi besarnya.

Pertama, misi PKS untuk mengakhiri politik aliran di Indonesia. Sejarah perpolitikan Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka telah diwarnai oleh politik aliran, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Prof. Clifford Geertz asal Belanda sejak tahun 60-an. Menurut pandangan ini preferensi pemilih sangat ditentukan oleh dinamika religiusitas masyarakat dan muatan ideologis yang dibawa oleh partai politik. Jika merujuk pada teori ini dengan mendikotomi partai politik menjadi partai sekuler dan partai islam, maka kita menemukan fakta bahwa pemilih partai Islam pada setiap momentum Pemilu terus mengalami penurunan. Prestatasi tertinggi partai-partai Islam terjadi pada tahun 1955 dengan perolehan 40% lebih pemilih, kemudian terus menurun hingga pemilu 2004.

Pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit menilai, jika kita membandingkan Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999 terlihat bahwa pemilih partai sekuler meningkat sebanyak 35,6 persen, sedangkan pemilih partai Islam menurun 7,51 persen. Sementara anggota legislatif (DPR) partai-partai sekuler bertambah sebanyak 32,64 persen, sementara anggota legislatif partai-partai Islam menurun sebanyak 9,95 persen. Artinya, trend elektabilitas partai-partai Islam yang ada saat ini jika masih menampilkan performance yang sama dengan Pemilu 1999 dan 2004 tidak akan melahirkan pertambahan pemilih yang signifikan, bahkan cenderung terus menurun. Bagi PKS, fenomena ini adalah sebuah ancaman bagi semua partai Islam.

Oleh karena itu partai-partai Islam sudah saatnya berpikir bagaimana melepaskan diri dari jebakan politik aliran tersebut. Jika tidak, Pemilu 2009 hanya akan menjadi ajang perebutan suara sesama partai Islam. Ceruk pemilih yang terlalu sedikit untuk merepresentasikan kepentingan ummat dalam pengeloaan negara. Sementara segmen pemilih diluar pemilih ideologis partai Islam sangat besar. Saya menilai, manuver politik yang telah dilakukan oleh PKS dengan menampakkan diri sebagai partai tengah, partai untuk siapa saja, adalah langkah maju yang luar biasa. Setidaknya PKS tidak lagi menjadikan ideologi Islam sebagai jualan satu-satunya untuk meraih simpati pemilih yang memang mayoritas lebih menilai performance partai ketimbang Ideologi.

Kedua, misi PKS untuk mengakhiri politik tokoh. Tidak dapat dipungkiri bahwa warisan politik di Indonesia masih mengandalkan figur dan ketokohan sebagai jualan politik. Akibatnya kebesaran partai sangat bergantung pada kebesaran tokohnya, bukan pada ide, manajemen, maupun performancenya. Sebagai bukti nyata masih hidupnya politik tokoh adalah gonjang ganjing beberapa partai Islam yang merasa tokohnya dibajak oleh PKS melalui iklan Guru Bangsanya. Dalam iklan ini PKS memposisikan tokoh-tokoh pahlawan tersebut sebagai milik bangsa Indonesia, dan bukan miliki ormas atau partai tertentu.

Pada saat yang sama politik Indonesia lebih mengarah kepada pertarungan antara tokoh-tokoh bangsa yang potensial. Sesama tokoh saling menjatuhkan. Sesama tokoh saling mengklaim sebagai yang terbaik. Bahkan fanatisme yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh tersebut membutakan mata mereka terhadap kehadiran ide-ide cerdas dan solutif dari tokoh-tokoh yang lain. Sebuah warisan politik yang selama ini menjadi jangkar bagi kemajuan Indonesia.

Oleh karena itu menurut saya maneuver PKS dengan memberikan award kepada 100 pemimpin muda Indonesia dan 8 inspiring woman tanpa memandang suku, agama, jenis kelamin , ideologi dan partai politiknya merupakan sebuah langkah maju yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memilki jiwa besar dan visi Indonesia yang jauh ke depan. Manuver ini telah menempatkan semua tokoh bangsa ini dari kalangan manapun sebagai sosok-sosok yang harus di apreasisasi, sekali lagi tanpa harus memandang perbedaan ideologi.

Dalam ungkapan yang indah Sekjen PKS, Anis Matta mengatakan, “Di PKS banyak orang hebat, tapi di partai lain juga banyak orang hebat. Di PKS banyak reformis, tapi di kelompok lain juga banyak reformis. Oleh karena itu kita mesti keluar dari kandang kita masing-masing, untuk bertemu pada suatu lapangan yang luas. Meneriakkan satu kata yang sama tentang masa depan Indonesia. Dan biarlah di lapangan besar itu, kita menggunakan baju kita masing-masing, dengan warna yang berbeda-beda, tapi dengan satu semangat yang sama. Karena hanya satu kata, Indonesia!”.

Ketiga, misi PKS untuk mengakhiri politik simbol. Manuver terakhir yang dilakukan oleh PKS adalah memunculkan warna kuning sebagai warna dominan pada berbagai atributnya. Manuver ini menuai kontroversi dari berbagai pihak dan dianggap sebagai upaya PKS untuk mendekat dengan partai Orde Baru, Golkar. Dalam kaca mata saya, maneuver ini adalah maneuver politik yang sangat cerdas untuk mulai menghilangkan politik simbol yang selama ini, sadar atau tidak, ikut mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Sebagian pemilih bahkan menentukan pilihannya beradasrkan simbol warna, kuning untuk Golkar, merah untuk PDIP, hijau untuk PPP dan PKB, biru untuk PAN, dan putih untuk PKS. Tidak masuk akal memang, tapi simbol-simbol itulah yang tertanam di alam bawah sadar sebagian pemilih. Oleh karena itu, menurut saya maneuver itu belum selelsai, setelah muncul dengan warna kuning, beberapa waktu yang akan datang PKS akan muncul dengan warna merah, hijau, biru juga putih, untuk meruntuhkan mitos politik simbol tersebut. Seolah-olah PKS ingin mengatakan, “Kuning itu PKS juga, merah itu PKS juga, hijau itu PKS juga, biru itu PKS juga dan putih itu PKS juga”.

Keempat, misi PKS untuk menuju The Next Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, secara jujur saya harus mengakui bahwa bangsa ini belum memiliki visi. Sesuatu yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Amerika besar karena visi. Jepang maju karena visi. India bangkit karena visi. China menjadi raksasa karena visi. Tapi, bangsa ini tak pernah memilki visi. Kita terus tenggelam dalam diskursus dan wacana kita tentang sejarah Indonesia. Waktu kita dihabiskan untuk mencari siapa yang salah pada setiap fase transisi negeri ini. Pemimpin-pemimpin kita terpilih untuk dihujat. Dan kitalah bangsa yang malas untuk memberikan apresiasi. Untuk hanya sekedar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo, bangsa ini begitu pelit hingga menunggu waktu puluhan tahun untuk memberikannya.

Sesungguhnya PKS telah memberikan keteladanan tentang perlunya bangsa ini memiliki visi. Dan syarat untuk melangkah menuju visi The Next Indonesia itu adalah kearifan memaknai sejarah. Apresiasi PKS terhadap Soeharto bukanlah karena uang, seperti yang tersirat di akhir tulisan Ust. Aswar Hasan. Tetapi sebuah ide tentang menyambungkan sejarah antar generasi, sebab peradaban besar adalah karya akumulatif antar genarasi. Bangsa kita ini tidak akan pernah berdiri hanya dengan darah satu orang, hanya dengan air mata satu orang, hanya dengan ide satu orang. Tetapi sebuah karya antar generasi anak bangsa.

Dan terakhir, menurut saya tulisan Ust. Azwar Hasan tersebut adalah apresiasi cinta beliau terhadap PKS. Beliau telah berusaha melakukan tabayyun (sebagai sesama muslim) kepada elit PKS, meskipun belum mendapatkan respon apa-apa. Kader PKS tidak perlu merasa terhakimi oleh judul opini Ust. Azwar Hasan ini yang dalam pandangan saya merupakan sosok bijaksana dan sangat memahami impilikasi yang muncul dari pilihan judul opini ini. Saya yakin, bahwa orang-orang besar hanya lahir dari gelombang kritikan yang juga besar.

Selengkapnya…

Tuesday, December 9, 2008

PEMILU 2009: TONGGAK KEBANGKITAN KAUM MUDA

Ada yang menggembirakan dari suasana menjelang Pemilu 2009, yaitu bermunculannya calon-calon legislator berusia muda yang tersebar pada hampir seluruh partai. Bahkan partai-partai yang sangat konservatif sekalipun seperti Golkar dan PDIP. Yang lebih menggembirakan lagi adalah fakta bahwa calon legislator muda ini dinominasikan pada hampir semua level lembaga legislatif, mulai tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi, hingga DPR RI.


Bukan hanya pada lembaga legislatif kaum muda ini bangkit, mereka juga mulai berani mengusung wacana pemerintahan kaum muda, pemimpin muda, Presiden muda. Sederet nama-nama tokoh muda dengan sangat percaya diri mengabarkan kepada rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri, bahwa mereka siap menahkodai bahtera negeri yang besar ini menggantikan orang-orang tua yang telah membawa Indonesia ke dalam pusaran krisis yang panjang.

Dan sepertinya gelombang kebangkitan kaum muda ini akan terus berlanjut. Perubahan-perubahan dramatis di berbagai negera seperti Amerika Serikat turut mempercepat proses kebangkitan tersebut. Terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden termuda Amerika sekaligus pemimpin Afro-amerika pertama dalam sejarah Negara adidaya tersebut telah menginspirasi bergesernya secara ekstrim situasi sosio-politik di berbagai negara.

Sebelumnya di berbagai Negara yang terkenal dengan percepatan-percepatan rekayasa sosialnya seperti Iran dan Negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela, Brazil dan Peru juga telah mengalami pergeseran kepemimpinan yang begitu ekstrim dengan tampilnya pemimpin-pemimpin muda yang penuh idealisme. Dan sepertinya situasi seperti ini akan terus bergulir seperti bola salju. Terutama pada Negara-negara yang sedang bergolak dan dalam proses transisi seperti Thailand.

Untuk konteks Indonesia, fenoma kebangkitan kaum muda ini juga diperkuat dengan mulai masuknya anak-anak muda dalam jajaran elit partai-partai konservatif. Sesuatu yang selama ini sangat sulit untuk mereka tembus. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Budiman Sujatmiko di tubuh PDIP dan Yudhi Krisnandi atau Indra J. Piliang di tubuh Golkar misalnya, sedikit banyaknya akan mendobrak barrier perpolitikan nasional yang selama ini dibangun oleh tokoh-tokoh tua. Dan fenomena ini hampir terjadi di semua partai. Anas Urbaningrum di Partai Demokrat, Drajad Wibowo di PAN, Lukman Hakim di PPP, Dita Indah Sari di PBR, bahkan yang paling fenomenal kesuksesan Muhaimin Iskandar mengambil alih PKB dari cengkraman tokoh tua konservatif Gus Dur.

Angin segar kebangkitan kaum muda juga secara berani ditampilkan oleh PKS, partai yang diisi oleh anak-anak muda seluruhnya. Manuver politik khas anak muda diracik sedemikian rupa hingga membuat gerah tokoh-tokoh uzur di hampir semua partai. Harapan perubahan disampaikan secara cerdas ke seluruh pelosok Indonesia. Semua media mengikuti setiap jengkal langkahnya. Para pengamat meneliti setiap sisi manuvernya. Seluruh partai membicarakan sepak terjangnya. Bahkan para Indonesianis barat angkat bicara tentang obsesinya. Fenomena yang jarang terjadi dalam pentas politik. Dan biasanya psikologi publik yang bombastis seperti ini hanya terjadi pada calon pemenang, seperti Obama di Amerika.

Meskipun fenomena kuat kebangkitan kaum muda ini telah terasa atmosfirnya, namun sebagian orang masih meragukannya. Pertama, mereka meragukan kapasitas anak-anak muda ini untuk mampu mendobrak kejumudan di partai yang mereka masuki, khususnya partai-partai raksasa. Untuk mereka yang berpandangan seperti ini perlu diingatkan kembali tentang sejarah panjang kebangkitan Indonesia, bahwa setiap zaman ada kaum mudanya, dan dalam setiap kebuntuan, kaum mudalah pendobraknya. Jangankan partai, wajah peradaban pun mampu mereka unbah.

Keraguan yang kedua adalah kenyataan bahwa sebagian politisi muda yang sedang diorbitkan oleh berbagai partai merupakan keturunan langsung tokoh-tokoh tua yang selama ini telah berkiprah. Ada semacam keraguan pada integritas mereka hanya karena hubungan darah. Tapi untuk mereka yang berpandangan seperti ini, kepadanya perlu disampaikan sebuah puisi indah dari Kahlil Gibran:

Your Children are not Your Children They are the sons and daughters of life's longing for itself. They come through you but not from you, And though they are with you yet they belong not to you. You may give them your love but not your thoughts, For they have their own thoughts. You may house their bodies but not their souls, For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams. You may strive to be like them, but seek not to make them like you. For life goes not backward nor tarries with yesterday.

Kebangkitan kaum muda adalah keniscayaan. Sejarah telah mentakdirkan mereka untuk tampil sebagai pionir perubahan. Saat ini mereka sedang bekerja mengumpulkan kekuatan untuk melahirkan gelombang raksasa yang akan mendobrak kejumudan bangsa ini, dan membawa Indonesia keluar dari putaran krisis yang berkepanjangan ini. Hanya saja, mereka juga manusia. Tetap saja proses kebangkitan itu akan menghadapi banyak tantangan, terutama tantangan internal, yaitu ego. Mereka orang-orang muda, memiliki jiwa muda, semangat yang membara, tapi sekaligus ego dan keakuan yang tinggi. Dan jika mereka mampu melampaui ini, maka Indonesia baru sudah ada di depan mata. I hope so…

Selengkapnya…

Sunday, December 7, 2008

PEMILU 2009 DALAM TIMBANGAN

Pemilu 2009 tinggal menghitung pekan. Momentum demokrasi lima tahunan ini akan menjadi titik balik bagi bangsa Indonesia untuk menata ulang sistem kepemimpinan nasional yang belum mampu membawa rakyat Indonesia keluar dari krisis. Oleh karena itu momentum Pemilu 2009 ini menjadi sangat strategis sebagai starting point bagi demokrasi baru Indonesia yang selama ini berputar-putar dalam lingkaran setan transisi. Pertanyaannya adalah, sanggupkah kita memanfaatkan momentum ini sebagai starting point era baru demokrasi Indonesia?

Menurut penulis, setidaknya ada tiga fakta yang perlu untuk kita timbang-timbang sebelum menjawab pertanyaan ini:

Fakta pertama, bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik terus melorot. Padahal sejatinya partai politik adalah institusi representasi aspirasi masyarakat yang (mestinya) dipercaya untuk memberikan solusi. Tapi pada kenyataanya, saat ini hampir semua partai politik datang ke tengah masyarakat tanpa ide, sebab sebagian besar partai politik dibentuk memang bukan dengan sebuah ide, melainkan dorongan kepentingan dan kekuasaan. Akhirnya kita menyaksikan kontestansi partai politik dalam meraih simpati pemilih lebih sarat artistik ketimbang solutif. Lebih bernuansa selebritas ketimbang kerja nyata. Lebih menonjolkan entertaining ketimbang fakta. Maka tak heran, partai politik yang memiliki modal cukup kuat memanfaatkan semua media untuk meng-‘iklan’-kan partainya.

Celakanya, ide-ide iklan yang disampaikan demi meningkatkan nilai jual sebagian besarnya sangat narsis. Kemasan yang dikelola secara profesional oleh praktisi komunikasi publik telah menghilangkan unsur pendidikan politik kepada masyarakat dan mengubahnya menjadi media hypnosis melalui audio visual effect televisi. Jika metode itu digunakan untuk meningkatkan popularitas partai politik sebagai kontestan pemilu memang sah-sah saja. Tetapi di satu sisi ada unsur pembodohan di dalamnya. Sebab mindset masyarakat dengan sendirinya akan terbentuk menjadi lebih terlena pada entertaining iklan dan lupa pada permasalahan yang sesungguhnya.

Ada ironi lain yang terikut dalam strategi kampanye ‘iklan’ ini. Yaitu kenyataan bahwa biaya politik kita semakin besar dan mahal. Hingga saat ini saja, partai-partai bermodal besar telah menggelontorkan milyaran rupiah hanya untuk biaya iklan di semua media cetak dan elektronik. Sebuah jumlah yang jika dikalkulasikan akan jauh lebih bermanfaat jika disalurkan melalui model kampanye charity/sosial yang lebih menyentuh masyarakat dan lebih solutif.

Dan yang lebih menyedihkan dari efek kontestansi partai politik yang lebih sarat selebritas adalah dimunculkannya figur-figur selebriti sebagai ‘komoditas’ partai politik untuk mendongkrak nilai jual. Kehadiran mereka sanggup menggeser founding fathers sebuah partai politik yang telah membangun partai tersebut dari nol dengan berdarah-darah dan bercucuran air mata. Idealisme dijual untuk sebuah kursi. Para patriot pembela partai disingkirkan demi mengejar target pemilu. Sebuah keputusan yang akan membawa lembaga-lembaga perwakilan kita lebih mirip panggung sandiwara nantinya.

Fakta kedua, bahwa masyarakat (pemilih) semakin pragmatis. Salah satu penyebab terbesar mengapa masyarakat semakin pragmatis dalam memilih adalah pendidikan politik yang diperoleh dari berbagai Pilkada di tanah air. Pendidikan politik itu bukannya mencerdaskan tetapi malah membodohi, sebab Pilkada yang dilaksanakan sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2008 sarat dengan money politic dan umbar janji.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa momentum Pilkada adalah kesempatan memperoleh rezki tambahan bagi sebagian masyarakat. Mulai dari partai politik , aparat pemerintah, penyelenggara pemilu, tim sukses, hingga setap warga yang memiliki hak pilih. It’s all about the money! Semuanya karena uang! Maka tak heran jika para kontestan Pilkada harus menghamburkan milyaran rupiah demi memenangkan kompetsisinya. Jika menang jadi Raja, jika kalah jadi gila, seperti calon Bupati Ponorogo, Yuli Nursanto.

Pembodohan politik yang juga dilahirkan oleh sebagian besar Pilkada adalah umbar janji. Masyarakat disuguhkan dengan berbagai janji-janji politik yang mengiurkan, seperti oase. Bahasanya direkayasa sedemikian rupa sehingga memiliki interpretasi ganda. Interpretasi bagi pemilih tentu saja berbeda dengan interpretasi narasumbernya. Tetapi interpretasi itu dibiarkan kabur hingga selesainya Pilkada. Dan jika sang kontestan pengumbar janji telah terpilih, maka interpretasi yang sesungguhnya dari janji-janji politik itu pun mulai dibeberkan. Bahasa yang pas kira-kira adalah ‘menipu rakyat’. Tengok saja bahasa: “Gratis dari lahir sampai mati”. Bagi narasumbernya janji ini tentu realistis dengan persyaratan dari A sampai Z. Tapi bagi pemilih, interpretasi bahasa tersebut tentu saja dimaknai lurus, bahwa mereka tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun dari lahir sampai mati. Dan yang bodoh siapa? Entahlah!

Fakta ketiga, bahwa kecurangan pada setiap momentum pemilihan semakin beragam dan kreatif. Curang adalah senjata utama pelaku politik untuk memenangkan kompetisinya. Oleh karena itu kecurangan yang telah bermetamorfosis menjadi ribuan bentuk ini adalah ancaman terbesar bagi Pemilu 2009 menuju era baru demokrasi Indonesia. Memang tidak semua kontestan Pemilu memiliki potensi melakukan kecurangan. Pelaku kecurangan biasanya adalah pihak-pihak yang memilki kekuasaan dan kekuatan, khususnya kekuatan finansial. Dan karena itu mereka sangat berpotensi mencederai pesta demokrasi lima tahunan rakyat Indonesia ini dengan berbagai kecurangan.

Ironisnya, lembaga atau kelompok yang diberikan wewenang untuk mengawasi dan mengantisipasi kecurangan Pemilu ini tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan yang setara dengan para pelaku kecurangan. Sehingga keberadaan mereka lebih menyerupai formalitas demokrasi ketimbang bodyguard untuk melindungi demokrasi. Sehingga kita hanya mampu menonton pertunjukan kecurangan itu berlalu lalang di depan mata kita tanpa sanggup berkata apa-apa, tanpa sanggup berbuat apa-apa. Kita marah, tapi kita tak berdaya.

Masih banyak hal yang dapat kita timbang-timbang untuk menilai seberapa besarnyakah harapan perubahan yang dapat dihasilkan oleh Pemilu 2009 nanti. Setiap kita dengan timbangan yang berbeda tentu saja memiliki kesimpulan yang berbeda. Akan tetapi, apa pun kesimpulan itu, Pemilu 2009 sudah ada di depan mata. Suka atau tidak, mau ataupun enggan, pesta demokrasi lima tahunan ini akan menentukan arah baru bangsa kita, Indonesia.

Bagi penulis, harapan untuk lahirnya perubahan dari Pemilu 2009 ini memang kecil. Akan tetapi berhenti berharap dan memutuskan untuk memaki sejarah yang telah dicapai oleh bangsa kita ini juga bukanlah sebuah solusi. Tetap saja setiap kita harus meyakini bahwa Pemilu 2009 adalah salah satu batu loncatan yang mesti kita tapaki untuk keluar dari krisis dan menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Takdir sejarah bangsa Indonesia ada di tangan kita. Oleh karenanya yang kita perlukan saat ini adalah optimisme akan hadirnya perubahan. Tapi, kita tak boleh menunggu orang lain yang datang membawa bendera perubahan itu. Setiap kitalah yang harus bangkit dengan gagah dan mengusung perubahan itu. Mulai dari diri kita tentu saja. Wallahu A’lam.

Selengkapnya…