Saturday, January 24, 2009

JEBAKAN SUDUT PANDANG

Jutaan manusia yang hidup di muka bumi ketika memandang bulan senantiasa memaknai benda langit itu dengan keindahan. Dengan memandangnya saja ribuan puisi romantis tercipta. Ratusan pepatah indah terajut. Jutaan kisah cinta terangkai. Sebab rembulan yang begitu indah dengan sinarnya memiliki satu makna yang sama di muka bumi. Bulan itu simbol harapan dan kehidupan.

Tapi bagi para astronot yang telah menginjakkan kakinya disana, bulan itu tak seindah yang dibayangkan. Bulan itu tak seperti wajah seorang gadis cantik yang bercahaya, seperti ilustrasi para pujangga. Bulan itu gersang. Bulan itu tandus. Permukaannya kering dengan lembah dan gunung api dimana-mana. Dan sisi gelap bulan itu mengerikan. Manusia bisa membeku di dalamnya. Bagi para astronot, bulan itu ruang tanpa kehidupan. Lalu siapa yang harus disalahkan dengan persepsi yang berbeda secara diametris ini?

Mungkin tak ada yang perlu disalahkan. Sebab persepsi kita dibentuk oleh sudut pandang kita. Dan sudut pandang kita tentu saja sangat dipengaruhi oleh posisi kita memandang. Pemahaman seperti inilah yang aku bangun untuk bisa memahami pandangan banyak orang tentang PKS. Hanya saja perbedaanya, jika orang-orang di bumi memandang rembulan memiliki persepsi yang sama, maka orang-orang di luar PKS memandang PKS dengan persepsi yang berbeda-beda.

Dinamika yang terjadi di tubuh PKS, entah karena strategi, maneuver, atau kebijakan, senantiasa membentuk persepsi yang beragam bagi orang-orang di luar PKS. Tetapi bagi PKS sendiri, persepsi itu selalu sama. Iklan Soeharto misalnya, bagi Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia menganggap maneuver tersebut sebagai blunder PKS. Tetapi bagi Bima Arya Sugiarto, pengamat politik dari Universitas Paramadina, menganggap iklan tersebut sebagai langkah cerdas. Tentu saja bukan kapasitas kita untuk menilai siapakah diantara keduanya yang lebih cerdas, sebab memang bukan itu persoalannya. Sebagaimana tidak ahsan rasanya membandingkan kecerdasan Azwar Hasan yang menganggap maneuver ini sebagai pengkhianatan PKS, dengan kecerdasan Qasim Mathar yang mengacungkan jempol atas strategi pencitraan PKS tersebut.

Sementara para pengamat berdebat tentang iklan PKS ini. Disaat para akademisi adu ilmu tentang maneuver PKS ini. Internal PKS tetap tenang berselancar di atas ombak kontroversinya sambil mempersiapkan strategi brilian selanjutnya. Dan ketika riak kontroversi itu telah reda, semua orang baru tersadar jika PKS telah berada diseberang sana untuk menembakkan peluru selanjutnya. Dan anehnya, populritas dan elektabilitas PKS menurut survey internal yang lebih jujur menunjukkan trend pergerakan positif seiring munculnya kontroversi PKS tersebut. Seperti para astronot yang ada di bulan, disaat manusia di bumi hanya bisa memandang dengan kagum, mereka telah mengeksplorasi bulan dan mulai merekayasa kehidupan disana.

Oleh karena itu, wajar saja jika setiap orang merekayasa persepsinya sendiri terhadap realitas PKS yang dinamis. Sebagian orang menganggap penempatan Sekjen PKS, Anis Matta di Dapil Sulsel I DPR RI sebagai pengusiran beliau dari DKI. Tapi bagi sebagian yang lain memepersepsinya sebagai strategi ekspansi yang brilian sebagaimana DR. Hidayat dikembalikan ke Jawa Tengah, dan Pak Tif ke Sumatera Utara. Sebagian orang mempersepsi PKS telah terbagi 2 kubu, keadilan dan kesejahteraan, sementara sebagain yang lain mempersepsi PKS telah menjadi partai manusia yang sesungguhnya dan bukan partai malaikat. Bahwa di PKS kultur dinamika ide dan gagasan telah tumbuh menjadi kultur positif yang semakin menguatkan.

Tak satu pun yang patut ditertawai atas perdebatan dan kontroversi itu. Sebab mereka memang memandang PKS dari luar, seperti pandangan manusia di bumi yang mempersepsi rembulan. Tak ada yang salah. Dan karena itu para astronot harus berbesar jiwa pada perbedaan persepsi tentang bulan. Tugas besar mereka adalah bagaimana meyakinkan manusia di bumi tentang wajah bulan yang sesungguhnya. Begitu pun internal PKS, dibutuhkan kebesaran jiwa dan kesabaran untuk meyakinkan setiap orang di negeri ini bahwa PKS itu bersih, peduli dan professional. Biarlah mereka bicara, dan PKS terus bekerja.

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS At-Taubah: 105)

Selengkapnya…

Friday, January 23, 2009

DISKURSUS YANG BODOH

Aku tertawa. Menertawai diriku sendiri. Setelah membaca kembali diskursus yang tak ada habisnya tentang PKS. Berdebat sengit melalui tulisan dengan anak-anak muda yang –jujur- menurutku asset-aset ummat yang sedang menggeliat. Saling menghujat dan menyerang. Mencari-cari kesalahan dan kelemahan. Dan menghilangkan akhlak karimah serta persaudaraan. Memenuhi hati dengan kebencian. Memaksa pikiran untuk su’udzon. Melahirkan keakuan dan ego yang berlebihan. Astagfirullah…

Kadang aku berpikir, untuk apa mendebat Ust. Azwar Hasan dengan opininya. Toh, selama ini juga beliau telah memberikan kontribusi yang besar untuk ummat. Belum lagi bisa jadi bantahan itu dapat menohok beliau sebagai seorang guru dan tokoh. Padahal bisa jadi opini itu hanyalah sepenggal nasehat dalam bentuk yang berbeda.

Juga Fajurrahman Jurdi (FJ), anak muda yang terus berkarya. Mungkin benar kata Bang Yankur, jika ekspresi itu adalah cerminan jiwa yang begitu bersemangat. Dan kata-kata yang begitu keras, boleh jadi memang karakter beliau tanpa latar belakang niat yang buruk dibaliknya. Kira-kira semacam karakter bahasa berbagai suku di Indonesia yang sekilas terdengar kasar namun maknanya biasa saja. Wallahu alam…

Aku juga salut dengan sudut pandang segar dari Bang Yanuardi Syukur (Yankur). Sobat lamaku yang sangat cerdas. Dan sepertinya waktu telah membentuknya menjadi seorang pemikir yang luar biasa. Melalui responnya terhadap diskursus tanpa akhir ini, aku tahu jika Bang Yankur telah terbentuk menjadi manusia dewasa yang bijaksana.

Dan tak ku sangka-sangka, adikku yang sedikit gempal (heheheh…) Iqbal Sandira juga memberikan perhatian terhadap diskursus ini. Maka keluarlah tulisannya dengan gaya bahasa yang santun dan begitu menghargai. Sepertinya dia cocok untuk aku rekrut menjadi anggota perkumpulan PKH (Pemberontak Kucing Hitam). Haahhahahh…… Bersiap siagalah, Iqbal!!!

Aku rasa, mereka semua telah mengajarkan banyak hal kepadaku. Terutama pelajaran tentang sikap (attitude). Sebab mereka telah menampilkan potret kehidupan manusia apa adanya. Ungkapan perasaan yang lebih jujur. Dan tak perlu ada yang disesali. Toh, setiap kritikan bagi orang-orang yang berjiwa besar justeru semakin menguatkan. Seperti derasnya angin yang menerpa pepohonan yang semakin tinggi malah akan menguatkan akar-akarnya untuk menghunjam lebih dalam ke bumi. Mungkin ada ranting yang patah. Mungkin ada daun yang gugur. Tapi sesungguhnya pohon itu sedang berbenah mempersiapkan diri menyambut badai besar yang akan datang selanjutnya.

Aku begitu yakin, jika Alah mentakdirkan harakah inilah yang memimpin ummat meraih supremasinya, maka dengan izin Allah pulalah jalan-jalan untuk meraihnya juga dibuka. Seperti ekspansi Israel ke Gaza di akhir tahun 2008 yang lalu, boleh jadi merupakan cara Allah membukakan jalan bagi HAMAS untuk mengokohkan gerakan da’wahnya. Maka boleh jadi pula, kehadiran mereka yang terlibat dengan diskursus ini merupakan cara Allah untuk mengokohkan dan membesarkan harakah ini. Seperti terpaan angin yang justeru menguatkan akar-akar pohon agar terus menjulang. Semoga…

Selengkapnya…

Friday, January 9, 2009

PKS AKAN MENGUKIR SEJARAH

Kehidupan sejarah manusia mirip permainan sepak bola. Dalam sepak bola selalu ada pemain, komentator dan penonton. Begitupun dalam sejarah manusia, selalu ada pelaku sejarah, ahli sejarah dan penyimak sejarah. Pelaku sejarah dapat diibaratkan para pemain sepak bola. Merekalah yang berjibaku di lapangan menciptakan gol atau kebobolan gol. Dikagumi dan tak jarang dicaci-maki. Merekalah yang menciptakan persitiwanya.

Lalu para komentator memberikan penilaian tentang peristiwa tersebut. Seperti ahli sejarah, para komentator itu biasanya merasa paling benar dalam memandang setiap peristiwa yang telah terjadi di lapangan. Dan seringkali mereka tak perlu merasa berdosa, jika ternyata komentar-komentar mereka jauh dari kebenaran. Apalagi jika tim yang dihujat oleh sang komentator ternyata berdiri sebagai pemenang di akhir pertandingan. Dan yang pasti, mereka tak pernah berkontribusi apa-apa dalam menciptkan persitiwanya.

Kemudian sekelompok besar manusia yang lain menjadi penonton. Mereka hanya bisa menjadi penikmat kreasi peristiwa yang diciptakan oleh para pemain. Mereka menciptakan euphoria, mengagumi dan juga menghujat. Tetapi suara-suara mereka tak pernah jelas dan selalu samar. Dan dalam kesamaran itulah mereka biasanya lebih jujur memaknai peristiwanya. Kehebatan pemain diapresiasi dengan pujian, dan blunder pemain dikritisi dengan sepantasnya. Tapi justeru apresiasi mereka inilah yang membesarkan atau mengecilkan sebuah tim sepak bola, dan bukan pendapat para komentator tadi. Merekalah para penyimak sejarah.

Namun selalu ada sekelompok penonton yang begitu fanatik dengan timnya. Kalah atau menang, fair atau melanggar, dukungan atas tim kebanggaannya akan terus mengalir sampai akhir hayat. Mereka inilah yang disebut supporter. Salah satu tugas mereka adalah melakukan “teror” kepada tim lawan selama pertandingan. Mereka melakukan psywar, menghujat, mencaci, bahkan sampai tindakan kriminal seperti melempar dan memukuli tim lawan.

Jika Pemilu 2009 diibaratkan kompetisi sepak bola, maka PKS adalah salah satu kontestannya. PKS adalah sebuah tim yang akan menciptakan peristiwanya. PKS adalah salah satu club (partai) dari ummat Islam yang akan memperebutkan gelar The Champion atas club-club yang lain dengan berbagai latar belakang ideologisnya. Selain membawa nama club (partai), PKS juga membawa nama besar dan kehormatan ummat dalam kontestansi raksasa ini. Dan karena itu tidaklah berlebihan jika PKS mentargetkan suara 20% pemilih pada Pemilu 2009 sebagai upaya menegakkan kehormatan partai-partai Islam di Indonesia.

Dan saat ini, peluit tanda dimulainya kompetisi sudah ditiup. Semua tim telah bersiap siaga dan mulai melakukan manuver-manuver canggih untuk mengalahkan lawan-lawanya. Berbagai peristiwa terjadi. Ada perebutan posisi Kapten seperti di PKB. Ada sekelompok pemain yang ngambek dan keluar dari club untuk membuat club baru seperti di PDIP. Ada juga tim yang sebagian strikernya diganjar kartu merah (karena korupsi) dan dimasukkan ke dalam buih seperti di Golkar dan PPP. Namun ada juga tim yang sangat solid seperti PKS.

Mencermati serangan-serangan Fajlurrahman Jurdi kepada PKS belakangan ini pada awalnya membuat penulis menduga jika dia hanyalah seorang komentator oportunis yang pandai berteori tapi tak pernah punya pengalaman hidup tentang apa yang dikomentarinya. Hanya seorang anak muda yang sedang ingin populer dan cari nama dengan cara-cara nista. Tapi dari tulisan keduanya di Tribun Opini ketika dia mengungkit kembali peristiwa Pilgub Sulsel yang lalu, penulis semakin yakin jika dia adalah seorang supporter fanatik dari club (partai) lain yang sedang melakukan “teror" kepada PKS. Mungkin juga sedang cari uang disana.

Tapi terlepas dari itu semua, PKS sebagai partai islam professional tentu saja perlu untuk menjelaskan kepada bangsa Indonesia tentang positioning-nya dalam sejarah bangsa ini. Agar orang-orang yang memiliki hati-hati busuk, lidah keji dan mulut-mulut yang kotor seperti Fajlurrahman Jurdi itu bungkam dan kecewa karena makar mereka terhadap PKS dengan pertolongan Allah akan selalu gagal. Dan kepada mereka itu bangsa ini perlu menyampaikan duka, sebab mereka hanya bisa bicara (membual) sementara PKS telah lama bekerja untuk bangsa.

Pada Pemilu 2004 yang lalu supporter anti PKS (seperti Fajlurrahman) juga tersebar dimana-mana. Bahkan seorang pimpinan lembaga survey terkenal dengan berani bersumpah bahwa PKS tidak akan mendapat apa-apa. Tapi PKS menjawabnya dengan kinerja, sebuah torehan sejarah. Dan setelah itu PKS menjadi fenomena. Ratusan akademisi dari dalam dan luar negeri meneliti PKS sebagai il phenomenon dalam sejarah perpolitikan Indonesia. PKS dibahas dalam seminar-seminar. PKS diangkat dalam buku-buku. PKS menjadi judul skripsi dan desertasi. Bahkan PKS merajai berita-berita politik di dunia maya (internet). PKS telah menciptkan sejarah baru di Indonesia.

Dan untuk Pemilu 2009, badai teror dari para supporter anti PKS tersebut tidak akan pernah reda, tapi semakin deras. Bahkan mereka didukung oleh kalangan akademisi opurtunis dan official media yang kuat sebagai corongnya. Tetapi PKS sekali lagi harus melewati badai teror ini dengan gagah. Sebab PKS hadir untuk mengukir sejarah. Sejarah tentang bagaimana sebuah partai Islam modern dapat tampil memimpin bangsa besar seperti Indonesia.

Sementara untuk tulisan kedua Fajlurrahman Jurdi di Tribun Opini tangal 7 Januari 2009, penulis hanya bisa tertawa sekaligus kasihan membacanya. Tertawa sebab tulisan itu semakin menunjukkan kerancuan berpikir sang Direktur. Berlagak seperti aktivis Islam lalu menjustifikasi teorinya dengan literatur barat. Parahnya lagi, sang Direktur seolah-olah tak pernah membaca sirah. Pelajaran yang di dalamnya sang Direktur dapat membaca dasar-dasar politik Islam dan musyarakah siyasiah yang dipertanyakannya. Penulis juga kasihan sebab sang Direktur terus menerus tenggelam memikirkan “iklan” PKS yang telah habis masa tayangnya. Tema basi yang terus menerus mengganggu tidurnya. Wacana yang bagi PKS telah selesai pembahasannya.

Akhirnya dalam hidup ini setiap kita harus memilih, apakah menjadi pelaku sejarah, ahli sejarah atau penyimak sejarah. Apakah menjadi pemain, komentator atau penonton saja. PKS telah menciptkan peristiwa, lalu menjadi rangkaian cerita, dan kelak akan membentuk sejarah Indonesia. Sehingga bangsa ini kelak akan mencantumkan nama PKS sebagai bagian tak terpisahkan dalam sejarahnya. Sebab sejarah hanya merekam kisah mereka yang menghabiskan hidupnya untuk bekerja, bukan tukang cerita. Wallahu ‘Alam.

Selengkapnya…

Thursday, January 8, 2009

PKS MENJAWAB KEDENGKIAN

Kedengkian yang begitu besar terhadap PKS sangat terasa pada diri seorang Fajlurrahman melalui dua tulisannya di kolom Tribun Opini yang pernah terbit. Penuturan yang sangat jorok dan tidak pantas mengalir begitu saja dalam tulisan tersebut, mencerminkan jiwa dan pikiran penulisnya yang kasar dan penuh kebencian. Entah sengaja atau tidak, Harian Tribun dengan tulus memuat seluruh kotoran jiwa dan pikiran si penulis untuk di konsumsi oleh masyarakat luas yang mungkin jauh lebih beradab. Dan mudah-mudahan Harian Tribun tidak sedang on mission untuk menjatuhkan citra PKS.

Sebenarnya tulisan itu tidak perlu ditanggapi, sebab hanya akan membuat penulisnya merasa besar kepala dan semakin angkuh. Sebab sepengetahuan saya, dia hanyalah seorang anak muda yang gagal dalam hubungan sosialnya. Pemuda angkuh yang sok pintar dan idealis, namun jiwanya mungkin sunyi. Sehingga satu-satunya pelarian terbaik baginya adalah menjadi terkenal dengan cara-cara nista.

Tapi tulisan ini bukan untuk menghakimi akhlak si pendengki yang mengaku sebagai aktivis islam itu (meski dari tulisannya tak satu pun yang menunjukkan perangai dan akhlak islami). Tulisan ini ingin menjawab kedengkiannya melalui sudut pandang yang terbatas dari seorang kader PKS yang telah terluka perasaannya oleh tulisan-tulisan si pendengki. Dan karena itu tulisan ini tidak mewakili organisasi PKS, yang terlalu mubazir untuk menjawab kedengkian basi seperti itu.

Menurut saya, setidaknya ada lima hal yang memprihatinkan dan patut dikasihani dari pikiran-pikiran si pendengki:

Pertama, tulisan itu mencerminkan besarnya kesombongan di dalam hati si pendengki. Sebab hanya orang-orang sombonglah yang berani memberikan vonis-vonis buruk terhadap orang lain sekena hatinya. Dan Fir’aun, adalah simbol kesombongan manusia yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Sungguh benar pesan Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang menuduh saudaranya sebagai kafir, bila yang dituduh tidak seperti yang dituduhkan, maka kekufuran akan kembali kepada si penuduh". Jika seluruh tuduhan si pendengki atas PKS tidak seperti yang dituduhkan, maka ketahuilah bahwa seluruh tuduhan itu telah melekat dalam diri si pendengki.

Kedua, akhlak penyampaian ide dalam tulisannya sangat jauh dari tuntunan Qur’an. Padahal dalam tulisannya, si pendengki seolah-olah sedang membela Islam. Jika semua aktivis da’wah Islam berperangai demikian, maka kemanakah makna firman Allah SWT dalam surah Thoha ayat 44 yang artinya: “Berikanlah, hai Musa dan Harun, kepada Firaun nasihat-nasihat yang baik dengan bahasa yang halus, mudah-mudahan ia mau ingat dan menjadi takut kepada Allah.”

Maka berkata khalifah Al-Ma’mun kepada seorang ulama yang selalu menghujatnya dengan kasar, “Tuan tidaklah lebih mulia dari Nabi Musa, dan saya tidaklah lebih buruk dari Fir’aun yang mengaku Tuhan. Karena itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan mempunyai Al-Quran lain yang tidak memuat ayat 44 surat Thaha itu?”

Ketiga, kerancuan logika si pendengki. Dalam tulisannya, si pendengki berusaha menjelaskan bagaimana khasanah politik Islam yang seharusnya, yaitu dengan mengkategorisasi partai politik menjadi dua, partai ideologis (kader) dan partai massa. Dengan menggunakan pendekatan Duverger si pendengki kemudian “mengharamkan” kemungkinan jalan tengah seperti PKS, yaitu partai kader yang memiliki basis massa. Sehingga dengan logika seperti ini, satu-satunya jalan bagi partai kader untuk berkuasa adalah dengan mengkaderkan lebih dari setengah jumlah warga negara yang ada. Sebuah logika berfikir yang entah dari mana relevansi faktualnya.

Kerancuan logika ini disebabkan oleh karena si pendengki mencoba menjelaskan khasanah politik Islam itu dengan menggunakan referensi dunia barat yang sekuler. Itulah sebabnya si pendengki tidak bisa memahami mengapa terjadi koalisi strategis (bukan ideologis) antara partai Islam dan nasionalis, sebab referensi sekuler barat memang tak pernah mengenal istilah itu. Tetapi dalam sirah nabawiyah dan sejarah Islam setelahnya, pelajaran tentang etika politik Islam (termasuk masalah koalisi strategis) itu terbentang luas di dalamnya. Hanya saja, mungkin si pendengki tak suka membacanya.

Keempat, miskinnya informasi kontemporer si pendengki. Hal ini menyebabkan si pendengki banyak keliru dalam membaca realitas hari ini. Harapan bahwa gabungan partai-partai Islam dapat mengalahkan partai-partai sekuler (seperti yang diimpikan pada Pilgub Sulsel tahun lalu) hanya angan-angan yang tidak memiliki pijakan. Tak satupun lembaga riset dan lembaga survey saat ini yang menempatkan kesamaan ideologi sebagai alasan utama pemilih dalam memilih partai. Semuanya menunjukkan hasil jika trend pemilih lebih melihat performance partai dan caleg ketimbang ideologinya. Faktor kemiskinan informasi inilah yang membuat si pendengki begitu kukuh mengimani teori Duverger.

Selain itu, klaim sepihak tentang tentang kebencian rakyat Indonesia kepada Soeharto juga menunjukkan kalau si pendengki adalah warga negara yang susah mengakses informasi. Padahal survey LaKSNu tahun 2007 melaporkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia memilih Soeharto sebagai Presiden terbaik yang pernah memimpin Indonesia. Kalau begitu, rakyat Indonesia mana yang sedang diwakili oleh si pendengki dalam menguatkan pendapatnya?

Kelima, karena si pendengki hanyalah seorang NATO sejati
(NATO= No Action Talk Only). Begitu indahnya dia berbicara tentang reformasi, tentang Indonesia, dan tentang Islam. Sayangnya, kita tak pernah tahu, di mana si pendengki ketika aktivis-aktivis PKS (yang belum berpartai) berada di garis terdepan menyabung nyawa menuntut reformasi? Dimana si pendengki ketika relawan-relawan PKS bergelut dengan jenazah saat tsunami meluluh lantakkan Aceh? Dimana si pendengki ketika tim kemanusiaan PKS mengulurkan tangan bagi korban gempa Jogja dan Manokwari? Dimana si pendengki ketika mujahid-mujahid PKS dikirim ke medan perang di Iraq, Afghanistan dan Palestina? Dimana si pendengki ketika kader-kader PKS berdiri dalam khusyuk shalat malamnya sambil bercucuran air mata, setelah seharian menyelesaikan tugas da’wahnya. Mudah-mudahan si pendengki tidak sedang tertidur pulas dalam kamar sempitnya, atau menghabiskan malam dalam keasyikan game komputernya.

Inilah jawaban kami, kader PKS, atas kedengkian yang begitu keji dari seorang anak muda gila popularitas namun dangkal pemikiran, saudara Fajlurrahman Jurdi. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk-Nya. Amin!

Selengkapnya…