Saturday, October 23, 2010

MEMELIHARA JIWA PATRIOTISME

Wahai Saudaraku,

Ada yang menggelisahkan hati, ketika kita begitu ekspresif merespon aksi demonstrasi mahasiswa beberapa waktu yang lalu dengan sarkatis. Bagi sebagian kita mungkin itu ‘mengganggu’, atau pun ‘kampungan’, atau bahkan menyebut pendemo itu ‘otak udang’. Ada juga yang mengatakan sudah tidak relevan dan sejarah itu tidak akan berulang dua kali. Saya resah bukan karena saya pernah menjadi ‘pengganggu’ dan ‘orang kampungan’ itu. Juga tidak resah karena pernah memimpin sepuluh ribu ‘otak udang’ dijalanan. Saya resah, karena khawatir pada mindset (pikiran bawah sadar) yang melahirkan ekspresi-ekspresi sarkatis tersebut…

Wahai Saudaraku,

Dahulu ditanah Andalusia, jutaan kepala kaum muslimin dipenggal oleh tentara crusaders dari barat, justru ketika mereka mencapai era keemasan ilmu pengetahuan. Dan dahulu dikota Baghdad, 1 juta kaum muslimin dibantai selama 30 hari oleh pasukan Tar-Tar dari timur, juga pada masa ketinggian peradaban Islam. Bukan karena kaum muslimin jumlahnya sedikit. Bukan pula karena tidak ada laki-laki diantara mereka. Tetapi mereka melakukan kesalahan yang sama: menganggap remeh jihad dan mengabaikan patriotisme. Dan mereka berkata, “Jihad asykari tidak lagi relevan saat ini, tetapi yang lebih dibutuhkan jihad fikry”. Dan sejarah pun mencatat kejatuhan mereka…

Wahai Saudaraku,

Sesungguhnya jihad asykari itu tak akan pernah tergantikan posisinya dengan amalan apa pun. Harum keringat dan wangi darah para mujahid tidak dapat ditakar dengan tinta para penulis atau karya para ilmuwan. Dengan pedang-pedang mereka itulah sejarah diukir. Dan dari nyawa-nyawa mereka itulah peradaban dibentuk. Dan ketika kaum muslimin menukar jihad asykari dan semangat patriotisme itu dengan kegemilangan dunia, maka disaat itu pula sejarah mencatat laut mati menjadi hitam oleh tinta, dan merah oleh darah…

Wahai Saudaraku,

Jangan pernah katakan sejarah itu tidak berulang. Justru kita hidup ditengah pengulangan-pengulangan sejarah. Al-Qur’an yang suci menceritakan kisah tentang Fir’aun bukan hanya untuk menyampaikan kepada kita bahwa dahulu ada manusia dzalim bernama Fir’aun. Tetapi sebagai peringatan bahwa akan hadir Fir’aun-Fir’aun baru di setiap zaman yang kita lalui. Dan disaat itulah, kehidupan akan melahirkan musa-musa baru untuk menghancurkannya. Dan tidaklah Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah peperangan Rasulullah Saw, melainkan sebuah pesan bahwa peperangan itu merupakan sunnatullah untuk menunaikan amanah sebagai khalifah dimuka bumi…

Wahai Saudaraku,

Bagi kita, demonstrasi itu adalah bagian dari ‘jihad asykari’ dalam iklim demokrasi. Dan diseluruh negara demokrasi didunia keberdaannya diakui dan kehadirannya selalu dibutuhkan. Ribuan warga Amerika berdemonstrasi melawan Obama atas penambahan pasukan Amerika di Iraq. Ribuan buruh Prancis berdemonstrasi menuntut Sarqozy membatalkan penambahan usia pensiun. Ribuan warga Jerman berdemonstrasi menolak kehadiran penjahat perang Tony Blair di negeranya. Tentu saja mereka, tidak kampungan, apalagi otak udang. Dan mereka bahkan jauh lebih maju dibandingkan kita…

Bukan berarti saya mencintai kekerasan. Bukan berarti pula saya menyukai peperangan. Tetapi memelihara agar didalam jiwa ini semangat patriotism itu senantiasa menyala. Agar suatu saat ketika tidak diminta-minta, takdir peradaban kita menghendaki kehadiran mujahidin untuk menjaga panji-panjinya, maka jiwa ini tidak lagi ringkih untuk menyambut seruannya. Sebab, betapa banyak diantara kita yang tersembunyi kepengecutannya dalam ketenangan mihwar dan keindahan retorika…

Wallahu ‘Alam…
Selengkapnya…