Friday, September 16, 2011

ERA HORIZONTAL

Tiba-tiba saja, masyarakat Indonesia mengenal seorang Briptu Norman, anggota Brimob Polda Gorontalo yang membawakan lipsync lagu Chaiya-chaiya miliki Sarukh Khan. Media cetak dan Televisi terus menayangkannya selama beberapa pekan sejak video uniknya muncul di YouTube. Briptu Norman pun mendadak tenar bak artis dan diundang tampil dalam berbagai event entertianmen. Bahkan terakhir, Briptu Norman telah masuk dapur rekaman.

Fenomena ini bukan yang pertama kali, sebelumnya ada fenomena Shinta dan Jojo dengan lipsync Keong Racun, dan juga ada pelantun Andai Aku Gayus Tambunan. Di Amerika, fenomena yang sama telah lebih dulu terjadi. Lady Gaga dan Justin Beiber menjadi idola remaja Amerika setelah video mereka ditayangkan oleh youTube. Fenomena apakah ini?


Dulu, untuk menjadi seorang artis yang terkenal begitu panjang prosesnya. Anda harus punya agen, direkomendasikan oleh pencari bakat, diperkenalkan dengan produser, dan mungkin dengan sedikit biaya tambahan bisa masuk dapur rekaman. Setelah album selesai dilempar ke pasar, jika mendapatkan sambutan anda akan terkenal. Tapi jika tidak laku, mohon maaf, anda gagal.

Atau, ada cara yang sedikit lebih murah tapi kompetitif. Anda bisa mengikuti audisi-audisi pencari bakat yang dilaksanakan oleh stasiun televisi. Hanya saja, anda harus bersaing dengan ribuan, bahkan puluhan ribu peminat lainnya. Jika anda tidak istimewa, mohon maaf, anda gagal.

Inilah contoh yang cukup mudah untuk menjelaskan perbedaan Era Vertikal dan Era Horizontal. Jalan konvensional menjadi artis melalui pencari bakat atau audisi, adalah contoh era vertikal. Kemampuan anda dinilai oleh produser atau pun juri. Kesuksesan anda ditentukan oleh sistem. Ada hirearki yang cukup banyak untuk anda harus lalui. Lalu, anda harus “pandai-pandai” dan “tahu diri” agar bisa melalui seluruh hirearki itu dengan baik.

Sementara jalan yang dilalui Briptu Norman, Shinta-Jojo, atau pun Lady Gaga dan Justin Beiber, adalah contoh era horizontal. Kemampuan mereka dinilai oleh individu-individu yang membentuk networking. Setiap individu itu salaing berbagi (share) informasi, bertukar pendapat, memberikan nilai dan menentukan sikap. Tiba-tiba mereka menjadi fenomenal, barulah setelah itu media-media broadcasting bekerja. Mempublikasikan tentang popularitas mereka di dunia jejaring sosial.

Faktanya, struktur masarakat kita perlahan tapi pasti sedang bergeser dari vertikal menjadi horizontal. Setiap individu mampu menggantikan peran-peran wartawan yang meliput suatu peristiwa. Bahkan setiap individu mampu menggantikan peran media massa. Jauh sebelum media massa mempublish suatu peristiwa, publik telah terlebih dahulu mengetahui informasinya dari jejaring mereka yang horizontal. Berawal dari satu orang, lalu masuk ke dalam komunitas-komunitas, dan akhirnya merambah ke seluruh jejaring dunia maya. Dalam banyak kasus, bahkan media massa baru menyadari suatu peristiwa itu penting setelah menjadi trending topic di dunia maya.

Inilah era horizontal. Sebuah lingkungan strategis yang kita hadapi saat ini. Hermawan Kartajaya dalam bukunya Connect!, memaparkan 4 perubahan mendasar di era ini:

Pertama, perubahan kekuatan teknologi dari Brodcasting (one to many) menjadi Networking (many to many). Pergeseran ini terlihat jelas pada Pemilu AS tahun 2008. Barack Obama, adalah salah satu pemimpin politik terbesar dalam sejarah yang lahir dari rahim era horizontal. Ketika lawan politiknya John Mc Cain hadir dengan platform vertikal, patriotisme, Obama hadir dengan platform horizontal, hope and change. Mc Cain mensosialisaikan platformnya melalui media massa (broadcasting) yang vertikal, sementara Obama mensosialisasikan platformnya melalui jejaring sosial (networking) yang horizontal.

Profil Mc Cain dan ide-idenya hanya disaksikan oleh Bangsa Amerika, sementara profil Obama dan ide-idenya disaksikan oleh warga dunia. Maka platform obama ini tidak hanya menginspirasi orang Amerika, tapi juga warga dunia. Sala satu riset media menjelang Pemilu AS tahun 2008 merilis, bahwa 70% pendukung Obama justru bukan orang Amerika. Obama, adalah contoh sukses politik horizontal yang pernah ada.

Kedua, perubahan kekuatan politik dari ideologi ke persona. Publik tidak lagi terlalu peduli sesorang politisi atau partai politiknya berideologi apa, tetapi apa yang telah ia lakukan untuk rakyat. Seperti kata Daeng Xiao Ping, “tidak penting apakah kucingnya berwarna hitam atau putih,yang penting bisa menangkap tikus”. Pada dasarnya publik tidak terlalu perduli diskursus yang terjadi dalam pengambilan kebijakan menggunakan perspektif apa, tetapi yang penting adalah bisakah kebijakan itu membantu kehidupan mereka.

Ketiga, perubahan kekuatan ekonomi, dari G7 ke G20. Wajah dunia sudah betul-betul berubah. Amerika dan negera-negara G7 lainnya saat ini sedang menghadapi krisis keuangan yang luar biasa. Sikap mereka yang selama ini menjadi penentu kebijakan moneter dunia (vertikal) telah tergeser secara perlahan oleh negara-negara berkembang yang lebih horizontal dalam interaksi internasionalnya.

Keempat, perubahan kekuatan sosial budaya, dari belief ke humanity. Di era horizontal ini, orang tidak lagi memilah-memilah pertemanan karena perbedaan agama dan keyakinan. Bahasa mereka adalah bahasa kemanusiaan. Tidak penting apa agama penduduk Jepang yang diterjang bencana tsunami, mereka tetap menunjukkan solidaritas dengan berbagai cara. Tidak penting apa keyakinan rakyat mesir yang menuntut presidennya mundur, atas nama kemanusiaan mereka ikut mendukungnya.

Lalu, bagaimana kita menghadapinya?

Seharusnya, berbagai peristiwa yang menimpa PKS beberapa waktu terakhir menjadi alarm penting untuk membangunkan kesadaran kita, bahwa model vertikal yang selama ini kita anut (struktur dan hirearki kaderisasi) tidak cukup lagi untuk membesarkan organisasi dan merebut kepemimpinan nasional. Serangan black campaign dan rekayasa opini melalui media broadcasting jelas tidak mampu kita hadapi. Penyebabnya sederhana, karena kita tidak memiliki media broadcasting seperti yang dimiliki para kompetitor.

Oleh karena itu, harus ada perubahan mindset dalam organisasi dan kader kita. Selama ini kita merasa imunisasi yang diberikan oleh struktur dan hirearki kaderisasi sudah cukup untuk membuat kita defensif terhadap serangan-serangan opini lawan. Padahal, secara tidak sadar citra organisasi terus menurun dan terkerdilkan di mata publik. Penyebannya sederhana, kita tidak menjadi bagian jejaring publik. Kita membentuk jejaring kader, bukan jejaring sosial. Karena itu, ketika serangan-serangan opini datang, kita hanya mampu menenangkan jejaring internal kita. Sementara di jejaring yang lebih luas, citra organisasi semakin rusak.

Kita juga perlu memahami, bahwa era horizontal itu bukan hanya terjadi di dunia online. Sesungguhnya mereka yang hidup di dunia online adalah orang yang sama di dunia offline. Karena itu, pendangan, persepsi dan sikap mereka di dunia online akan sama dengan yang mereka tampilkan di dunia offline. Mereka akan mengartikulasikan persepsi mereka itu dalam kehidupan nyata sehari-hari melalui dukungan atau pun penolakan. Mereka akan berkelompok dan membentuk komunitas. Itulah sebabnya, tidak cukup bagi kita untuk menjadi bagian dari komunitas netizn an sich, tetapi menjadi bagian dari komunitas-komunitas sosial dalam kehidupan yang sesungguhnya.Wallahu ‘Alam.


0 comments:

Post a Comment