Friday, September 16, 2011

ERA HORIZONTAL

Tiba-tiba saja, masyarakat Indonesia mengenal seorang Briptu Norman, anggota Brimob Polda Gorontalo yang membawakan lipsync lagu Chaiya-chaiya miliki Sarukh Khan. Media cetak dan Televisi terus menayangkannya selama beberapa pekan sejak video uniknya muncul di YouTube. Briptu Norman pun mendadak tenar bak artis dan diundang tampil dalam berbagai event entertianmen. Bahkan terakhir, Briptu Norman telah masuk dapur rekaman.

Fenomena ini bukan yang pertama kali, sebelumnya ada fenomena Shinta dan Jojo dengan lipsync Keong Racun, dan juga ada pelantun Andai Aku Gayus Tambunan. Di Amerika, fenomena yang sama telah lebih dulu terjadi. Lady Gaga dan Justin Beiber menjadi idola remaja Amerika setelah video mereka ditayangkan oleh youTube. Fenomena apakah ini?


Dulu, untuk menjadi seorang artis yang terkenal begitu panjang prosesnya. Anda harus punya agen, direkomendasikan oleh pencari bakat, diperkenalkan dengan produser, dan mungkin dengan sedikit biaya tambahan bisa masuk dapur rekaman. Setelah album selesai dilempar ke pasar, jika mendapatkan sambutan anda akan terkenal. Tapi jika tidak laku, mohon maaf, anda gagal.

Atau, ada cara yang sedikit lebih murah tapi kompetitif. Anda bisa mengikuti audisi-audisi pencari bakat yang dilaksanakan oleh stasiun televisi. Hanya saja, anda harus bersaing dengan ribuan, bahkan puluhan ribu peminat lainnya. Jika anda tidak istimewa, mohon maaf, anda gagal.

Inilah contoh yang cukup mudah untuk menjelaskan perbedaan Era Vertikal dan Era Horizontal. Jalan konvensional menjadi artis melalui pencari bakat atau audisi, adalah contoh era vertikal. Kemampuan anda dinilai oleh produser atau pun juri. Kesuksesan anda ditentukan oleh sistem. Ada hirearki yang cukup banyak untuk anda harus lalui. Lalu, anda harus “pandai-pandai” dan “tahu diri” agar bisa melalui seluruh hirearki itu dengan baik.

Sementara jalan yang dilalui Briptu Norman, Shinta-Jojo, atau pun Lady Gaga dan Justin Beiber, adalah contoh era horizontal. Kemampuan mereka dinilai oleh individu-individu yang membentuk networking. Setiap individu itu salaing berbagi (share) informasi, bertukar pendapat, memberikan nilai dan menentukan sikap. Tiba-tiba mereka menjadi fenomenal, barulah setelah itu media-media broadcasting bekerja. Mempublikasikan tentang popularitas mereka di dunia jejaring sosial.

Faktanya, struktur masarakat kita perlahan tapi pasti sedang bergeser dari vertikal menjadi horizontal. Setiap individu mampu menggantikan peran-peran wartawan yang meliput suatu peristiwa. Bahkan setiap individu mampu menggantikan peran media massa. Jauh sebelum media massa mempublish suatu peristiwa, publik telah terlebih dahulu mengetahui informasinya dari jejaring mereka yang horizontal. Berawal dari satu orang, lalu masuk ke dalam komunitas-komunitas, dan akhirnya merambah ke seluruh jejaring dunia maya. Dalam banyak kasus, bahkan media massa baru menyadari suatu peristiwa itu penting setelah menjadi trending topic di dunia maya.

Inilah era horizontal. Sebuah lingkungan strategis yang kita hadapi saat ini. Hermawan Kartajaya dalam bukunya Connect!, memaparkan 4 perubahan mendasar di era ini:

Pertama, perubahan kekuatan teknologi dari Brodcasting (one to many) menjadi Networking (many to many). Pergeseran ini terlihat jelas pada Pemilu AS tahun 2008. Barack Obama, adalah salah satu pemimpin politik terbesar dalam sejarah yang lahir dari rahim era horizontal. Ketika lawan politiknya John Mc Cain hadir dengan platform vertikal, patriotisme, Obama hadir dengan platform horizontal, hope and change. Mc Cain mensosialisaikan platformnya melalui media massa (broadcasting) yang vertikal, sementara Obama mensosialisasikan platformnya melalui jejaring sosial (networking) yang horizontal.

Profil Mc Cain dan ide-idenya hanya disaksikan oleh Bangsa Amerika, sementara profil Obama dan ide-idenya disaksikan oleh warga dunia. Maka platform obama ini tidak hanya menginspirasi orang Amerika, tapi juga warga dunia. Sala satu riset media menjelang Pemilu AS tahun 2008 merilis, bahwa 70% pendukung Obama justru bukan orang Amerika. Obama, adalah contoh sukses politik horizontal yang pernah ada.

Kedua, perubahan kekuatan politik dari ideologi ke persona. Publik tidak lagi terlalu peduli sesorang politisi atau partai politiknya berideologi apa, tetapi apa yang telah ia lakukan untuk rakyat. Seperti kata Daeng Xiao Ping, “tidak penting apakah kucingnya berwarna hitam atau putih,yang penting bisa menangkap tikus”. Pada dasarnya publik tidak terlalu perduli diskursus yang terjadi dalam pengambilan kebijakan menggunakan perspektif apa, tetapi yang penting adalah bisakah kebijakan itu membantu kehidupan mereka.

Ketiga, perubahan kekuatan ekonomi, dari G7 ke G20. Wajah dunia sudah betul-betul berubah. Amerika dan negera-negara G7 lainnya saat ini sedang menghadapi krisis keuangan yang luar biasa. Sikap mereka yang selama ini menjadi penentu kebijakan moneter dunia (vertikal) telah tergeser secara perlahan oleh negara-negara berkembang yang lebih horizontal dalam interaksi internasionalnya.

Keempat, perubahan kekuatan sosial budaya, dari belief ke humanity. Di era horizontal ini, orang tidak lagi memilah-memilah pertemanan karena perbedaan agama dan keyakinan. Bahasa mereka adalah bahasa kemanusiaan. Tidak penting apa agama penduduk Jepang yang diterjang bencana tsunami, mereka tetap menunjukkan solidaritas dengan berbagai cara. Tidak penting apa keyakinan rakyat mesir yang menuntut presidennya mundur, atas nama kemanusiaan mereka ikut mendukungnya.

Lalu, bagaimana kita menghadapinya?

Seharusnya, berbagai peristiwa yang menimpa PKS beberapa waktu terakhir menjadi alarm penting untuk membangunkan kesadaran kita, bahwa model vertikal yang selama ini kita anut (struktur dan hirearki kaderisasi) tidak cukup lagi untuk membesarkan organisasi dan merebut kepemimpinan nasional. Serangan black campaign dan rekayasa opini melalui media broadcasting jelas tidak mampu kita hadapi. Penyebabnya sederhana, karena kita tidak memiliki media broadcasting seperti yang dimiliki para kompetitor.

Oleh karena itu, harus ada perubahan mindset dalam organisasi dan kader kita. Selama ini kita merasa imunisasi yang diberikan oleh struktur dan hirearki kaderisasi sudah cukup untuk membuat kita defensif terhadap serangan-serangan opini lawan. Padahal, secara tidak sadar citra organisasi terus menurun dan terkerdilkan di mata publik. Penyebannya sederhana, kita tidak menjadi bagian jejaring publik. Kita membentuk jejaring kader, bukan jejaring sosial. Karena itu, ketika serangan-serangan opini datang, kita hanya mampu menenangkan jejaring internal kita. Sementara di jejaring yang lebih luas, citra organisasi semakin rusak.

Kita juga perlu memahami, bahwa era horizontal itu bukan hanya terjadi di dunia online. Sesungguhnya mereka yang hidup di dunia online adalah orang yang sama di dunia offline. Karena itu, pendangan, persepsi dan sikap mereka di dunia online akan sama dengan yang mereka tampilkan di dunia offline. Mereka akan mengartikulasikan persepsi mereka itu dalam kehidupan nyata sehari-hari melalui dukungan atau pun penolakan. Mereka akan berkelompok dan membentuk komunitas. Itulah sebabnya, tidak cukup bagi kita untuk menjadi bagian dari komunitas netizn an sich, tetapi menjadi bagian dari komunitas-komunitas sosial dalam kehidupan yang sesungguhnya.Wallahu ‘Alam.


Selengkapnya…

LINGKUNGAN STRATEGIS

Sun Tzu, dalam kitab fenomenalnya The Art of War menuliskan empat postulat tentang rahasia kemenangan dalam pertempuran:

Pertama, jika engkau mengetahui kekuatanmu dan mengetahui kekuatan musuhmu, maka seratus kali bertempur , saratus kali pula kau memenangkannya.

Kedua, jika engkau mengetahui kekuatanmu tapi tidak mengetahui kekuatan musuhmu, maka seratus kali bertempur, lima puluh kali kau akan menang dan lima puluh kali kau akan kalah.

Ketiga, jika engkau tidak mengetahui kekuatanmu tapi mengetahui kekuatan musuhmu, maka seratus kali bertempur, lima puluh kali kau akan kalh dan lima puluh kali kau akan menang.

Keempat, jika engkau tidak mengetahui kekuatanmu dan tidak mengetahui kekuatan musuhmu, maka seratus kali bertempur , saratus kali pula kau akan kalah.



Postulat ini berbicara tentang dua faktor kemenangan: pengetahuan akan kekuatan diri dan pengetahuan akan kekuatan musuh. Dalam kontek organisasi, kesuksesan organisasi sangat ditentukan oleh pengetahuan akan semberdaya organisasi dan pengetahuan sumberdaya kompetitor (Competitor Intelligence). Tetapi, dalam postulat ini Sun Tzu tidak menuliskan, bagaimana jika kedua pihak saling mengetahui kekuatan masing-masing dengan sama baiknya. Maka faktor kemenangan ketiga dalam pertempuranlah yang menjadi pembeda, yaitu mengetahui medan perangnya.

Saifuddin Qutuz, pahlawan Islam sang penakluk pasukan Tartar, telah memangkan salah satu pertempuran paling prestisius dalam sejarah perdaban Islam, pertempuran ‘Ain Jalut. Dia mengetahui kekuatan pasukannya dengan baik. Dia juga mengetahui kekuatan pasukan Tartar dibawah komando Hulaghu Khan dengan baik. Begitu pula sebaliknya. Hulaghu Mengetahui kekuatannya dengan baik, dan mengetahui kekuatan Qutuz dengan baik pula. Tetapi Qutuz mengetahui medan perangnya dengan baik, sementara Hulaghu tidak.

Maka demikianlah sejarah menuliskan, di lembah ‘Ain Jalut, pasukan Qutuz menghancurkan pasukan Tartar dengan kemenangan yang meyakinkan. Kemenangan yang dengannya sejarah Islam yang kelam berbalik arah menjadi peradaban raksasa yang bangkit kembali.

Demikian pula dengan organisasi kita. Mengetahui kekuatan diri dan kekuatan musuh saja tidak cukup, tetapi faktor yang sangat menentukan adalah mengetahui lingkungan strategis dakwah dengan baik. Oleh karena itu tidak cukup rasanya memenangkan dakwah ini hanya dengan meng- copy paste berbagai program dari pusat kemudian mengorganisasikan sumberdaya dalam menjalankannya. Sebab boleh jadi, desain program itu perlu disesuaikan dengan lingkungan strategis dakwah kita disini.

Mengetahui kekuatan sendiri dan mengetahui kekuatan kompetitor dalam iklim kompetisi politik yang ketat seperti sekarang ini memang sangatlah penting. Oleh karena itu hampir setiap partai rela mengelaurkan dana yang cukup besar untuk melakukan survey politik demi mengetahui peta kekuatan sendiri dan kompetitornya. Bahkan melalui survey kita dapat menegatahui kelebihan dan kekurangan setiap kompetitor sehingga menentukan penilaian responden yang mewakili suara publik.

Selain survey, pemahaman kekuatan diri kita sendiri seharusnya dapat dilakukan dengan lebih detail dan menyeluruh. Itulah sebabnya sangat penting bagi kita untuk memiliki sistem manajemen data yang akurat dan komprehensif. Jika ingin menang, sudah saatnya kita meninggalkan tradisi lama yang mengabaikan data dan memulai tradisi baru dengan mendisiplinkan diri kita menciptakan bank data yang kredibel dan berdaya guna.

Kita juga perlu mengetahui kekuatan kompetitor (competitor intelligence) melalui berbagai cara. Selain survey, kita dapat mengintip strategi kompetitor melalui media massa. Program aksi dan kebijakan-kebijakan kompetitor yang dipublish oleh media massa merupakan out put dari sebuah grand desain strategi yang rahasia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memiliki tim analisis media yang bisa memberikan gambaran peta politik di media. Interaksi kita dengan struktur dan kader kompetitor di teritori kerja (kota, kecamatan dan kelurahan) dapat juga menjadi sumber informasi kekuatan dan strategi mereka.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengenal lingkungan strategis dakwah kita. Seperti yang telah diuraikan diatas, lingkungan strategis inilah medan perangnya. Maka kita perlu secara serius mengkaji dan memahami realitas sosial masyarakat kita. Baik struktur sosialnya, budayanya, ekonominya dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat pergeseran tata nilai dan budaya oleh proses modernisasi. Tentu saja untuk mengenal dengan baik lingkungan strategis kita tidak cukup dengan melihat dari jauh, melainkan menyelami lingkungan dakwah kita secara langsung, berinteraksi dengan masyarakat dan menjadi bagian penting dari masyarakat itu sendiri.

Dengan cara inilah kita dapat benar-benar menerapakan apa yang oleh para qiyadah disebut sebagai perspektif Outside-In, atau dalam istilah bisnisnya Outward looking. Dimana program kita adalah program yang kompatibel dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki daya ungkit elektabilitas yang tinggi dalam pemilu. Wallahu ‘Alam.


Selengkapnya…

VISI

Visi adalah impian, cita-cita dan obsesi. Suatu pandangan jauh ke depan tentang organisasi atau impian yang ingin dicapai. Visi ingin menjawab pertanyaan, sebenarnya kita hendak kemana, menjadi apa, atau hasil seperti apa yang kita inginkan di masa depan. Visilah yang memberikan arah bagi organisasi untuk bergerak maju. Dan visilah yang menginspirasi setiap orang dalam organisasi untuk bekerja dengan rasa bangga, teguh, ulet dan pantang menyerah.

Begitu vitalnya visi ini, sehingga setiap orang di dalam organisasi harus memahami dan menjiwainya dengan baik. Ibarat membangun sebuah gedung, seluruh pekerja harus memahami hasil akhirnya. Sebab jika tidak, boleh jadi mereka bekerja bersama namun hasilnya akhirnya berbeda-beda. Itulah sebabnya sebuah organisasi harusmengkomunikasikan visi organisainya kepada seluruh stakeholder organisasi , agar visi itu menjadi jiwa sekaligus arah dalam semua proses organisasi yang mereka lakukan.


Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mengkomunikasikan visi organisasi kepada para pengurus dan seluruh kader. Agar ia menjadi jiwa sekaligus arah bagi semua aktivitas dakwah yang kita lakukan saat ini. Dan proses (mengkomunikasikan) itu sebaiknya dilakuan secara sistemik, Pengurus Wilayah kepada Pengurus Daerah, Pengurus Daerah kepada Pengurus Cabang, Pengurus Cabang kepada Pengurus Ranting, Ketua Bidang kepada Staf Bidang, dan Elemen Kaderisasi kepada seluruh kader. Hal ini untuk memastikan agar visi organisasi benar-benar sampai ke stelsel/ unit-unit kerja terkecil organisasi.

Meskipun pemaparan tertulis tentang penjelasan visi ini belum pernah sampai pada level struktur kita, mudah-mudahan tidak salah jika saya mencoba berijtihad menyampaikan interpretasi saya terhadap visi organisasi yang bersumber dari penjelasan lisan dan informal para qiyadah yang saya kenal selama ini.

Visi organisasi kita:

“Menjadi Partai Dakwah Yang Kokoh Dan Transformatif untuk Melayani Bangsa”

Saya memahami ada tiga elemen penting dari visi ini: identity, mission dan purpose.

Pertama, visi ini menjelaskan tentang identitas (identity) dan jatidiri organisasi kita, “Partai Dakwah”. Identitas ini menjelaskan tentang differensiasi dan positioning kita dengan organisasi politik yang lain. Penegasan identitas ini menjelaskan mainstream gerakan kita adalah gerakan dakwah, sehingga manhaj/sistem serta nilai yang menjiwai kesuluruhan aktivitasnya adalah manhaj dan nilai-nilai dakwah, bukan yang lain. Maka segala bentuk acuan dan kerangka kerja dalam organisasi ini harus bersumber dari nilai-nilai Islam yang orisinil dan sejarah panjang gerakan dakwah para Nabi dan salafush shaleh.

Identitas ini juga menjelaskan tentang siapa kita. Nahnu du’at qobla kulli syai’, kita adalah para da’i sebelum menjadi yang lain. Kita adalah para penyeru yang mewarisi tugas dakwah para Nabi. Sehingga dalam posisi apa pun kita, pekerjaan utama kita adalah ta’muruna bil ma’ruf wa tanhawna ‘anil munkar. Para du’atlah yang mendrive organisasi ini menuju tujuannya. Dan kernanya, kita seharusnya memiliki standar nilai-nilai moral dan etika yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Sebab kita adalah personifikasi dari apa yang kita serukan. Kita adalah qudwah bagi ummat dan bangsa kita.

Kedua, visi ini menjelaskan tentang substansi misi (mission) organisasi kita, “Kokoh dan Transformatif”. Sebuah penegasan tentang prasyarat bagi kesuksesan kita yaitu dengan menciptkan organisasi yang “kokoh” dan “transformatif”.

Kokoh, berarti organisasi kita harus kuat secara internal dan kuat pula secara eksternal. Secara internal organisasi ini harus dibangun oleh sumber daya manusia (kader) yang memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas. Ibarat pohon, kader inilah akar-akarnya. Daya tahan utamanya ditentukan oleh kekokohan internal kader, baik maknawiyah, fikriyah mau pun jasadiyahnya.

Kokoh secara internal juga berarti struktur yang solid. Ibarat pohon, strktur organisasi inilah batang, cabang dan rantingnya. Semakin kokoh struktur, maka akan semakin banyak manfaat (buah) yang dapat dilahirkan oleh organsiasi ini. Oleh karena itu, struktur organisasi kita perlu dikelola secara profesional. Perlu manajemen yang rapih dan kepemimpinan yang kuat dalam mengelolanya. Struktur organisasi kita juga harus terbangun hingga ke pelosok, agar dapat menebar manfaat seluas-luasnya.

Kokoh secara eksternal adalah buah dari kekokohan internal, yaitu kepercayaan (trust). Ibarat pohon, buah yang dihasilkan oleh kader dan struktur yang kokoh tadi telah memberikan manfaat yang nyata bagi ummat dan bangsa. Sehingga eksistensi organisasi kita sudah menjadi kebutuhan bagi ummat dan bangsa kita. Organisasi kita tidak lagi mudah digoyangkan oleh anasir perusak mana pun, selama kita memiliki akar yang kokoh, batang hingga ranting yang kuat serta menebar manfaat seluas-luasnya.

Transformatif, sebuah kata yang mengandung makna perubahan. Artinya, kehadiran organisasi kita sesungguhnya membawa misi perubahan (transformasi). Misi yang lahir dari kesadaran kita bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Juga sebuah pesan kepada ummat, bahwa kita juga sedang gelisah sebagaimana mereka gelisah melihat carut marutnya bangsa ini. Tetapi harus ada anak bangsa yang tampil dan tegak berdiri untuk menggelorakan semangat perubahan, memimpin ummat untuk bangkit dari keterpurukan, dan mengeluarkan bangsa ini dari kubangan ketidakpastian. Dan itu adalah kita!

Oleh karena itulah, kita sebagai agen of change harus memiliki ide tentang perubahan bangsa ini. Harus memiliki konsespi yang integral dan komprehensif untuk menjawab semua tantangan dan problematika bangsa ini. Kita harus memiliki narasi tentang perubahan yang mampu menginspirasi bangsa kita untuk benar-benar berubah dan mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karenanya, setiap kader dan pengurus sejatinya memahami ide-ide transformatif organisasi kita yang telah tertuang dalam buku Platform Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera.

Selain ide tentang perubahan, transformatif juga mengandung makna tentang semangat pembelajaran dalam organisasi kita. Kita menyadari, bahwa lingkungan strategis kita senantiasa berubah. Oleh karena itu organisasi ini harus senantiasa dinamis, tidak stagnan. Organisasi kita ini harus mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia yang makin canggih serta perubahan-perubahn yang terjadi begitu cepat. Maka mental model yang dikembangkan dalam organisasi kita adalah mental model pembelajar. Senantiasa melakukan inovasi dan perbaikan-perbaikan berkelanjutan (continues improovement). Inilah yang kita sebut dengan organisasi pembelajar.

Ketiga, visi ini menjelaskan tentang tujuan (purpose) kita, “Melayani Bangsa”. Saya tidak melihat makna lain dari kalimat ini kecuali makna tentang kepemimpinan. Melayani bangsa adalah bahasa paling substantif dari kepemimpinan nasional. Inilah tujuan mulia yang menggerakkan kita dan organisasi ini. Sebuah obsesi yang lahir
dari kesadaran akan hakikat penciptaan kita, khalifatun fil ardl.

Kita meyakini bahwa negara adalah sarana untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dan kehendak-kehendak ilahi di muka bumi. Maka wajib hukumnya bagi kita untuk menegakkan sebuah pemerintahan yang berpijak pada nilai-nilai luhur Islam dan membawa misi dakwah kepada seluruh ummat manusia. Meskipun pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa tugas mulia menegakkan pemerintahan yang berdiri diatas landasan ideologis ini harus ditempuh dengan cara-cara yang konstitusional.

Itulah kira-kira yang saya fahami dari visi organisasi kita yang menjelaskan tentang tiga hal: identity, mission dan purpose. Hanya dengan pemahaman yang baik akan substansinya, visi ini dapat menjadi sumber inspirasi, penunjuk arah, sekaligus pembangkit elan vital kita dalam berjuang. Mudah-mudahan dengan catatan yang sederhana dan penuh kekurangan ini, dapat mengisi sedikit ruang-ruang kosong dari mafahim kita akan visi organisasi dakwah kita. Wallahu ‘Alam.

Selengkapnya…

TANTANGAN

Jika kita mengkaji bagaimana sejarah peradaban manusia terus berubah, maka sesungguhnya kita akan menemukan satu kata yang menjadi kunci pemicu keseluruhan gerak perubahan peradaban manusia itu, yakni TANTANGAN. Ya, tantanganlah yang mendorong masyarakat manusia untuk berubah dan berevolusi. Menciptakan peradaban yang belum pernah dibayangkan oleh manusia sebelumnya.

Perhatikanlah bagaimana manusia purba yang awalnya hidup nomaden dan berkelompok kemudian memutuskan untuk menetap dan bercocok tanam. Tantangan hadir dari internal mereka, dimana jumlah populasinya mulai besar dan sangat merepotkan ketika harus bermigrasi. Perubahan lingkungan alam juga memaksa mereka untuk tidak lagi bergantung pada perubahan musim, tetapi menciptakan sendiri sumber-sumber makanan melalui bercocok tanam. Maka lahirlah sebuah kebudayaan baru yang menjadi tonggak dimulainya era sejarah yang baru.


Begitupun kita dan organisasi dakwah kita, terus berubah. Setidaknya yang kasat mata adalah perubahan strategi dan struktur organisasi. Dari partai tertutup dan ekslusif menjadi partai terbuka yang inklusif. Dari kinerja charity menjadi kinerja empowering. Dari pencitraan politik melalui media menjadi kontribusi politik melalui kinerja. Dari struktur organisasi berbasis tugas menjadi struktur organisasi berbasis segmen. Dan berbagai perubahan-perubahan strategis lainnya.

Setidaknya ada dua tantangan yang membuat kita harus berubah. Pertama adalah tantangan kapasitas. Ini adalah tantangan yang hadir sebagai konsekuensi pertumbuhan mihwar dakwah, dari mihwar muassai menuju mihwar daulah. Kapasitas kepemimpinan kita akan dipertanyakan. Sebab kita akan mengelola sebuah negara, bukan hanya sebuah partai politik. Kita harus memiliki kapasitas untuk memimpin 230 juta rakyat Indonesia, yang terdiri dari ribuan suku dan budaya, beragam agama serta etnis, mengelola wilayah teritori ketiga terbesar di dunia, mengadapi keberagaman dan pluralitas, dan membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mampu memimpin Indonesia? Dan kalau pun kita mampu, apakah rakyat Indonesia percaya bahwa kita mampu memimpin mereka? Tentu saja kepercayaan rakyat itu tidak lahir sertamerta hanya dengan kepercayaan diri kita mengatakan “Ya!”. Tetapi kepercayaan itu harus dibangun melalui interaksi yang panjang dengan mereka. Rakyat harus melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa “ya!”, memang kita memiliki kapasitas untuk memimpin mereka.

Tantangan kedua adalah perubahan lingkungan strategis. Inilah era Web 2.0, dimana setiap orang dimuka bumi saling terkoneksi. Koneksi antar individu ini melahirkan sebuah jejaring raksasa yang lebih besar dan lebih kuat dari institusi negara. Itulah yang terjadi di Timur Tengah tahun ini, revolusi jejaring sosial. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah segera mendapatkan respon publik hanya dalam hitungan detik dan dalam jumlah yang massif. Setiap individu bebas menyatakan pendapatnya, sikapnya dan perasaannya kepada siapa saja dan dimana saja. Bahkan pendapat individu ini dapat saja menjadi pendapat massa, sebab jejaring ini bekerja secara horizontal tanpa ada yang merekayasa dan mengendalikan. Teknologi informasi telah membuat setiap individu menjadi powerful, dan menjadi unborderles civilization.

Kesadaran akan tantangan inilah sehingga para qiyadah menjawabnya dengan melakukan perubahan-perubahan strategis dalam organisasi dakwah kita. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu tidak akan bermanfaat banyak jika organisasi dan kader kita di bawah tidak menyesuaikan diri dan melakukan perubahan-perubahan yang sama. Sebab pelaksana operasional dari hampir semua kebijakan-kebijakan strategis itu adalah struktur di bawah dan kader.

Oleh karena itu sangat urgen rasanya kita merencanakan rekayasa untuk mengubah mindset , kultur dan cara bekerja pengurus serta kader-kader dakwah. Sudah saatnya kita mendorong kultur baru dalam organisasi kita, kultur organisasi pembelajar. Dan tentu saja, salah satu jalannya adalah mendorong hadirnya kesadaran akan tantangan dakwah hari ini dan yang akan datang. Wallahu ‘Alam.


Selengkapnya…