Friday, January 9, 2009

PKS AKAN MENGUKIR SEJARAH

Kehidupan sejarah manusia mirip permainan sepak bola. Dalam sepak bola selalu ada pemain, komentator dan penonton. Begitupun dalam sejarah manusia, selalu ada pelaku sejarah, ahli sejarah dan penyimak sejarah. Pelaku sejarah dapat diibaratkan para pemain sepak bola. Merekalah yang berjibaku di lapangan menciptakan gol atau kebobolan gol. Dikagumi dan tak jarang dicaci-maki. Merekalah yang menciptakan persitiwanya.

Lalu para komentator memberikan penilaian tentang peristiwa tersebut. Seperti ahli sejarah, para komentator itu biasanya merasa paling benar dalam memandang setiap peristiwa yang telah terjadi di lapangan. Dan seringkali mereka tak perlu merasa berdosa, jika ternyata komentar-komentar mereka jauh dari kebenaran. Apalagi jika tim yang dihujat oleh sang komentator ternyata berdiri sebagai pemenang di akhir pertandingan. Dan yang pasti, mereka tak pernah berkontribusi apa-apa dalam menciptkan persitiwanya.

Kemudian sekelompok besar manusia yang lain menjadi penonton. Mereka hanya bisa menjadi penikmat kreasi peristiwa yang diciptakan oleh para pemain. Mereka menciptakan euphoria, mengagumi dan juga menghujat. Tetapi suara-suara mereka tak pernah jelas dan selalu samar. Dan dalam kesamaran itulah mereka biasanya lebih jujur memaknai peristiwanya. Kehebatan pemain diapresiasi dengan pujian, dan blunder pemain dikritisi dengan sepantasnya. Tapi justeru apresiasi mereka inilah yang membesarkan atau mengecilkan sebuah tim sepak bola, dan bukan pendapat para komentator tadi. Merekalah para penyimak sejarah.

Namun selalu ada sekelompok penonton yang begitu fanatik dengan timnya. Kalah atau menang, fair atau melanggar, dukungan atas tim kebanggaannya akan terus mengalir sampai akhir hayat. Mereka inilah yang disebut supporter. Salah satu tugas mereka adalah melakukan “teror” kepada tim lawan selama pertandingan. Mereka melakukan psywar, menghujat, mencaci, bahkan sampai tindakan kriminal seperti melempar dan memukuli tim lawan.

Jika Pemilu 2009 diibaratkan kompetisi sepak bola, maka PKS adalah salah satu kontestannya. PKS adalah sebuah tim yang akan menciptakan peristiwanya. PKS adalah salah satu club (partai) dari ummat Islam yang akan memperebutkan gelar The Champion atas club-club yang lain dengan berbagai latar belakang ideologisnya. Selain membawa nama club (partai), PKS juga membawa nama besar dan kehormatan ummat dalam kontestansi raksasa ini. Dan karena itu tidaklah berlebihan jika PKS mentargetkan suara 20% pemilih pada Pemilu 2009 sebagai upaya menegakkan kehormatan partai-partai Islam di Indonesia.

Dan saat ini, peluit tanda dimulainya kompetisi sudah ditiup. Semua tim telah bersiap siaga dan mulai melakukan manuver-manuver canggih untuk mengalahkan lawan-lawanya. Berbagai peristiwa terjadi. Ada perebutan posisi Kapten seperti di PKB. Ada sekelompok pemain yang ngambek dan keluar dari club untuk membuat club baru seperti di PDIP. Ada juga tim yang sebagian strikernya diganjar kartu merah (karena korupsi) dan dimasukkan ke dalam buih seperti di Golkar dan PPP. Namun ada juga tim yang sangat solid seperti PKS.

Mencermati serangan-serangan Fajlurrahman Jurdi kepada PKS belakangan ini pada awalnya membuat penulis menduga jika dia hanyalah seorang komentator oportunis yang pandai berteori tapi tak pernah punya pengalaman hidup tentang apa yang dikomentarinya. Hanya seorang anak muda yang sedang ingin populer dan cari nama dengan cara-cara nista. Tapi dari tulisan keduanya di Tribun Opini ketika dia mengungkit kembali peristiwa Pilgub Sulsel yang lalu, penulis semakin yakin jika dia adalah seorang supporter fanatik dari club (partai) lain yang sedang melakukan “teror" kepada PKS. Mungkin juga sedang cari uang disana.

Tapi terlepas dari itu semua, PKS sebagai partai islam professional tentu saja perlu untuk menjelaskan kepada bangsa Indonesia tentang positioning-nya dalam sejarah bangsa ini. Agar orang-orang yang memiliki hati-hati busuk, lidah keji dan mulut-mulut yang kotor seperti Fajlurrahman Jurdi itu bungkam dan kecewa karena makar mereka terhadap PKS dengan pertolongan Allah akan selalu gagal. Dan kepada mereka itu bangsa ini perlu menyampaikan duka, sebab mereka hanya bisa bicara (membual) sementara PKS telah lama bekerja untuk bangsa.

Pada Pemilu 2004 yang lalu supporter anti PKS (seperti Fajlurrahman) juga tersebar dimana-mana. Bahkan seorang pimpinan lembaga survey terkenal dengan berani bersumpah bahwa PKS tidak akan mendapat apa-apa. Tapi PKS menjawabnya dengan kinerja, sebuah torehan sejarah. Dan setelah itu PKS menjadi fenomena. Ratusan akademisi dari dalam dan luar negeri meneliti PKS sebagai il phenomenon dalam sejarah perpolitikan Indonesia. PKS dibahas dalam seminar-seminar. PKS diangkat dalam buku-buku. PKS menjadi judul skripsi dan desertasi. Bahkan PKS merajai berita-berita politik di dunia maya (internet). PKS telah menciptkan sejarah baru di Indonesia.

Dan untuk Pemilu 2009, badai teror dari para supporter anti PKS tersebut tidak akan pernah reda, tapi semakin deras. Bahkan mereka didukung oleh kalangan akademisi opurtunis dan official media yang kuat sebagai corongnya. Tetapi PKS sekali lagi harus melewati badai teror ini dengan gagah. Sebab PKS hadir untuk mengukir sejarah. Sejarah tentang bagaimana sebuah partai Islam modern dapat tampil memimpin bangsa besar seperti Indonesia.

Sementara untuk tulisan kedua Fajlurrahman Jurdi di Tribun Opini tangal 7 Januari 2009, penulis hanya bisa tertawa sekaligus kasihan membacanya. Tertawa sebab tulisan itu semakin menunjukkan kerancuan berpikir sang Direktur. Berlagak seperti aktivis Islam lalu menjustifikasi teorinya dengan literatur barat. Parahnya lagi, sang Direktur seolah-olah tak pernah membaca sirah. Pelajaran yang di dalamnya sang Direktur dapat membaca dasar-dasar politik Islam dan musyarakah siyasiah yang dipertanyakannya. Penulis juga kasihan sebab sang Direktur terus menerus tenggelam memikirkan “iklan” PKS yang telah habis masa tayangnya. Tema basi yang terus menerus mengganggu tidurnya. Wacana yang bagi PKS telah selesai pembahasannya.

Akhirnya dalam hidup ini setiap kita harus memilih, apakah menjadi pelaku sejarah, ahli sejarah atau penyimak sejarah. Apakah menjadi pemain, komentator atau penonton saja. PKS telah menciptkan peristiwa, lalu menjadi rangkaian cerita, dan kelak akan membentuk sejarah Indonesia. Sehingga bangsa ini kelak akan mencantumkan nama PKS sebagai bagian tak terpisahkan dalam sejarahnya. Sebab sejarah hanya merekam kisah mereka yang menghabiskan hidupnya untuk bekerja, bukan tukang cerita. Wallahu ‘Alam.

1 comments:

bungiksan said...

mantap bung tulisannya. Terus bekarya dan bekerja untuk indonesia yang lebih baik...

Post a Comment