Thursday, January 8, 2009

PKS MENJAWAB KEDENGKIAN

Kedengkian yang begitu besar terhadap PKS sangat terasa pada diri seorang Fajlurrahman melalui dua tulisannya di kolom Tribun Opini yang pernah terbit. Penuturan yang sangat jorok dan tidak pantas mengalir begitu saja dalam tulisan tersebut, mencerminkan jiwa dan pikiran penulisnya yang kasar dan penuh kebencian. Entah sengaja atau tidak, Harian Tribun dengan tulus memuat seluruh kotoran jiwa dan pikiran si penulis untuk di konsumsi oleh masyarakat luas yang mungkin jauh lebih beradab. Dan mudah-mudahan Harian Tribun tidak sedang on mission untuk menjatuhkan citra PKS.

Sebenarnya tulisan itu tidak perlu ditanggapi, sebab hanya akan membuat penulisnya merasa besar kepala dan semakin angkuh. Sebab sepengetahuan saya, dia hanyalah seorang anak muda yang gagal dalam hubungan sosialnya. Pemuda angkuh yang sok pintar dan idealis, namun jiwanya mungkin sunyi. Sehingga satu-satunya pelarian terbaik baginya adalah menjadi terkenal dengan cara-cara nista.

Tapi tulisan ini bukan untuk menghakimi akhlak si pendengki yang mengaku sebagai aktivis islam itu (meski dari tulisannya tak satu pun yang menunjukkan perangai dan akhlak islami). Tulisan ini ingin menjawab kedengkiannya melalui sudut pandang yang terbatas dari seorang kader PKS yang telah terluka perasaannya oleh tulisan-tulisan si pendengki. Dan karena itu tulisan ini tidak mewakili organisasi PKS, yang terlalu mubazir untuk menjawab kedengkian basi seperti itu.

Menurut saya, setidaknya ada lima hal yang memprihatinkan dan patut dikasihani dari pikiran-pikiran si pendengki:

Pertama, tulisan itu mencerminkan besarnya kesombongan di dalam hati si pendengki. Sebab hanya orang-orang sombonglah yang berani memberikan vonis-vonis buruk terhadap orang lain sekena hatinya. Dan Fir’aun, adalah simbol kesombongan manusia yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Sungguh benar pesan Rasulullah Saw: “Barangsiapa yang menuduh saudaranya sebagai kafir, bila yang dituduh tidak seperti yang dituduhkan, maka kekufuran akan kembali kepada si penuduh". Jika seluruh tuduhan si pendengki atas PKS tidak seperti yang dituduhkan, maka ketahuilah bahwa seluruh tuduhan itu telah melekat dalam diri si pendengki.

Kedua, akhlak penyampaian ide dalam tulisannya sangat jauh dari tuntunan Qur’an. Padahal dalam tulisannya, si pendengki seolah-olah sedang membela Islam. Jika semua aktivis da’wah Islam berperangai demikian, maka kemanakah makna firman Allah SWT dalam surah Thoha ayat 44 yang artinya: “Berikanlah, hai Musa dan Harun, kepada Firaun nasihat-nasihat yang baik dengan bahasa yang halus, mudah-mudahan ia mau ingat dan menjadi takut kepada Allah.”

Maka berkata khalifah Al-Ma’mun kepada seorang ulama yang selalu menghujatnya dengan kasar, “Tuan tidaklah lebih mulia dari Nabi Musa, dan saya tidaklah lebih buruk dari Fir’aun yang mengaku Tuhan. Karena itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan mempunyai Al-Quran lain yang tidak memuat ayat 44 surat Thaha itu?”

Ketiga, kerancuan logika si pendengki. Dalam tulisannya, si pendengki berusaha menjelaskan bagaimana khasanah politik Islam yang seharusnya, yaitu dengan mengkategorisasi partai politik menjadi dua, partai ideologis (kader) dan partai massa. Dengan menggunakan pendekatan Duverger si pendengki kemudian “mengharamkan” kemungkinan jalan tengah seperti PKS, yaitu partai kader yang memiliki basis massa. Sehingga dengan logika seperti ini, satu-satunya jalan bagi partai kader untuk berkuasa adalah dengan mengkaderkan lebih dari setengah jumlah warga negara yang ada. Sebuah logika berfikir yang entah dari mana relevansi faktualnya.

Kerancuan logika ini disebabkan oleh karena si pendengki mencoba menjelaskan khasanah politik Islam itu dengan menggunakan referensi dunia barat yang sekuler. Itulah sebabnya si pendengki tidak bisa memahami mengapa terjadi koalisi strategis (bukan ideologis) antara partai Islam dan nasionalis, sebab referensi sekuler barat memang tak pernah mengenal istilah itu. Tetapi dalam sirah nabawiyah dan sejarah Islam setelahnya, pelajaran tentang etika politik Islam (termasuk masalah koalisi strategis) itu terbentang luas di dalamnya. Hanya saja, mungkin si pendengki tak suka membacanya.

Keempat, miskinnya informasi kontemporer si pendengki. Hal ini menyebabkan si pendengki banyak keliru dalam membaca realitas hari ini. Harapan bahwa gabungan partai-partai Islam dapat mengalahkan partai-partai sekuler (seperti yang diimpikan pada Pilgub Sulsel tahun lalu) hanya angan-angan yang tidak memiliki pijakan. Tak satupun lembaga riset dan lembaga survey saat ini yang menempatkan kesamaan ideologi sebagai alasan utama pemilih dalam memilih partai. Semuanya menunjukkan hasil jika trend pemilih lebih melihat performance partai dan caleg ketimbang ideologinya. Faktor kemiskinan informasi inilah yang membuat si pendengki begitu kukuh mengimani teori Duverger.

Selain itu, klaim sepihak tentang tentang kebencian rakyat Indonesia kepada Soeharto juga menunjukkan kalau si pendengki adalah warga negara yang susah mengakses informasi. Padahal survey LaKSNu tahun 2007 melaporkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia memilih Soeharto sebagai Presiden terbaik yang pernah memimpin Indonesia. Kalau begitu, rakyat Indonesia mana yang sedang diwakili oleh si pendengki dalam menguatkan pendapatnya?

Kelima, karena si pendengki hanyalah seorang NATO sejati
(NATO= No Action Talk Only). Begitu indahnya dia berbicara tentang reformasi, tentang Indonesia, dan tentang Islam. Sayangnya, kita tak pernah tahu, di mana si pendengki ketika aktivis-aktivis PKS (yang belum berpartai) berada di garis terdepan menyabung nyawa menuntut reformasi? Dimana si pendengki ketika relawan-relawan PKS bergelut dengan jenazah saat tsunami meluluh lantakkan Aceh? Dimana si pendengki ketika tim kemanusiaan PKS mengulurkan tangan bagi korban gempa Jogja dan Manokwari? Dimana si pendengki ketika mujahid-mujahid PKS dikirim ke medan perang di Iraq, Afghanistan dan Palestina? Dimana si pendengki ketika kader-kader PKS berdiri dalam khusyuk shalat malamnya sambil bercucuran air mata, setelah seharian menyelesaikan tugas da’wahnya. Mudah-mudahan si pendengki tidak sedang tertidur pulas dalam kamar sempitnya, atau menghabiskan malam dalam keasyikan game komputernya.

Inilah jawaban kami, kader PKS, atas kedengkian yang begitu keji dari seorang anak muda gila popularitas namun dangkal pemikiran, saudara Fajlurrahman Jurdi. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk-Nya. Amin!

2 comments:

trijakaperkasa said...

pedas sekali ... bang

Anonymous said...

Sepertinya terpancing emosi

Post a Comment