Sunday, December 21, 2008

MENGOMENTARI AKSI MAHASISWA

Beberapa hari belakangan ini demonstrasi mahasiswa kembali marak di sejumlah daerah. Bahkan di Makassar demonstrasi mahasiswa mendapatkan perlakuan represif dari aparat secara berlebihan. Di beberapa daerah lain pun demikian. Temanya satu, menolak UU BHP Perguruan Tinggi di Indonesia. Aturan baru (meskipun wacananya sudah sangat lama) yang dalam kaca mata mahasiswa akan mejadi tirani baru dalam dunia pendidikan di masa yang akan datang.

Sebagai mantan aktivis mahasiswa di era kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, saya juga ingin memberikan penilaian atas aksi-aksi sporadis demonstrasi mahasiswa yang belakangan terjadi. Pertama secara pribadi saya sangat mengapresiasi gerakan-gerakan perlawanan kalangan kampus menanggapi pengesahan UU BHP tersebut. Teorinya tidak perlu panjang lebar, memang tugas mahasiswalah yang seharusnya menjadi institusi demokrasi yang kelima di negeri ini. Gerakan massa tersebut merupakan salah satu bentuk penunaian kewajiban mereka, disamping kewajiban belajar tentu saja. Sebab institusi parlemen yang diharapkan terlalu mengecewakan.

Saya berani mengatakan Anggota Dewan yang terhormat itu mengecewakan. Untuk hanya sekedar hadir dalam sidang-sidang paripurna yang sudah merupakan tugas utamanya saja sebagian mereka begitu malas, apalagi untuk mendengarkan suara hati rakyat yang mengakunya mereka wakili. Padahal, mahasiswa juga adalah rakyat. Yang menyakitkan adalah komentar-komentar mereka yang rada intelek dan ilmiah di televise bahwa sidang-sidang itu terlalu panjang dan membosankan. Pernyataan yang terlalu goblok menurut saya, sebab di tempat lain ketika mendengar pernyataan itu, tukang becak saja pandai berkata, “Lha ngapain Sampean masih jadi Anggota Dewan? Makan gaji buta aja…” Hehehe..lucu…

Salut buat sahabat-sahabat mahasiswa!!!

Tetapi satu hal yang membuat prestasi itu tercederai, yaitu pada pilihan strategi aksi yang harus merugikan rakyat. Salah apa rakyat sama kalian, kawan? Haruskan jalan mereka tertutup karena kesalahan pemerintah itu? Perlukah kendaraan mereka rusak oleh lemparan hanya karena amarah yang salah alamat? Tahukah Anda bahwa dari sekian banyak rakyat yang Anda tahan itu ada orang sakit yang segera butuh pertolongan? Tahukah Anda bahwa di antara antrian kemacetan itu ada ibu hamil yang mengerang kesakitan?

Menurut saya strategi aksi itu terlalu berlebihan. Kebenaran tak harus memakan korban untuk bisa diungkapkan. Apalagi jika mereka yang korban itu adalah rakyat, gelar yang kepadanya kita bersumpah setia untuk membela kepentingannya. Yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa mahasiswa harus berjuang sendirian. Niat mulia yang tercederai hanya karena pilihan metode yang salah alamat. Lalu rakyat marah… marah pada kita, bukan pada pemerintah…

Tapi jangan pernah berhenti kawan! Era kalian adalah masa pembelajaran. Langkah itu tak boleh berhenti hanya karena sedikit kesalahan. Toh bukan idealisme itu rusak, hanya persoalan teknis yang mengandung unsur ijtihad. Jangan pernah berhenti melawan tirani. Sebab berhenti adalah pengkhianatan terhadap janji. Janji pada kebenaran tentu saja…

Dan buat Polisi, entah kapan masanya mereka itu digantikan oleh manusia-manusia yang lebih mirip manusia ketimbang hewan. Sebab saya percaya, serusak apa pun suatu kaum, suatu komunitas, suatu institusi, pada akhirnya mereka akan mati dan digantikan oleh generasi yang lebih baik lagi. Semoga Tuhan mempercepat pergantian mereka itu hingga muncul sebuah generasi Polisi yang dapat meluruskan sejarah hitam dunia kepolisian…

0 comments:

Post a Comment