Friday, December 19, 2008

MISI POLITIK PKS 2009

Saya cukup kaget membaca tribun opini hari kamis 18 Desember 2008 kemarin. Ada dua hal yang membuat saya kaget pada kolom tersebut. Pertama adalah judulnya yang dalam kacamata saya sebagai orang awam ilmu komunikasi cenderung menghukum. Bahkan dalam sudut pandang politik judul ini dapat dikategorikan sebagai operasi politik tingkat tinggi berupa character assassination (pembunuhan karakter) mengingat momentum Pemilu tinggal menghitung hari. Dan tentu saja efek operasi ini (entah pesanan atau tidak) telah menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Kekagetan yang kedua adalah karena penulisnya, seorang tokoh intelektual yang sangat saya kagumi. Beliau adalah guru, ulama sekaligus pakar komunikasi yang tidak diragukan integritasnya. Namun disinilah yang membuat hati saya kurang nyaman jika melihat kembali kolom ini. Judul yang sangat menyerang sebagai pesan (message) bertemu dengan ketokohan penulis sebagai sumber (source), disadari atau tidak, telah menjadi propaganda efektif untuk membunuh PKS sebagai objek, setidaknya untuk tingkat Sulsel.

Terlepas dari penghormatan saya kepada penulis, melalui tulisan ini setidaknya saya sebagai masyarakat biasa yang peduli politik ingin menyampaikan pandangan atas opini Ust. Azwar Hasan tentang PKS. Dari berbagai manuver politik yang sudah dilakukan oleh PKS pada tingkat nasional, saya membaca bahwa PKS sedang menyampaikan pesan tentang misi PKS menjelang Pemilu 2009 kepada kita, bukan pada konteks Soehartonya, tapi pada narasi besarnya.

Pertama, misi PKS untuk mengakhiri politik aliran di Indonesia. Sejarah perpolitikan Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka telah diwarnai oleh politik aliran, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Prof. Clifford Geertz asal Belanda sejak tahun 60-an. Menurut pandangan ini preferensi pemilih sangat ditentukan oleh dinamika religiusitas masyarakat dan muatan ideologis yang dibawa oleh partai politik. Jika merujuk pada teori ini dengan mendikotomi partai politik menjadi partai sekuler dan partai islam, maka kita menemukan fakta bahwa pemilih partai Islam pada setiap momentum Pemilu terus mengalami penurunan. Prestatasi tertinggi partai-partai Islam terjadi pada tahun 1955 dengan perolehan 40% lebih pemilih, kemudian terus menurun hingga pemilu 2004.

Pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit menilai, jika kita membandingkan Pemilu 1955 dengan Pemilu 1999 terlihat bahwa pemilih partai sekuler meningkat sebanyak 35,6 persen, sedangkan pemilih partai Islam menurun 7,51 persen. Sementara anggota legislatif (DPR) partai-partai sekuler bertambah sebanyak 32,64 persen, sementara anggota legislatif partai-partai Islam menurun sebanyak 9,95 persen. Artinya, trend elektabilitas partai-partai Islam yang ada saat ini jika masih menampilkan performance yang sama dengan Pemilu 1999 dan 2004 tidak akan melahirkan pertambahan pemilih yang signifikan, bahkan cenderung terus menurun. Bagi PKS, fenomena ini adalah sebuah ancaman bagi semua partai Islam.

Oleh karena itu partai-partai Islam sudah saatnya berpikir bagaimana melepaskan diri dari jebakan politik aliran tersebut. Jika tidak, Pemilu 2009 hanya akan menjadi ajang perebutan suara sesama partai Islam. Ceruk pemilih yang terlalu sedikit untuk merepresentasikan kepentingan ummat dalam pengeloaan negara. Sementara segmen pemilih diluar pemilih ideologis partai Islam sangat besar. Saya menilai, manuver politik yang telah dilakukan oleh PKS dengan menampakkan diri sebagai partai tengah, partai untuk siapa saja, adalah langkah maju yang luar biasa. Setidaknya PKS tidak lagi menjadikan ideologi Islam sebagai jualan satu-satunya untuk meraih simpati pemilih yang memang mayoritas lebih menilai performance partai ketimbang Ideologi.

Kedua, misi PKS untuk mengakhiri politik tokoh. Tidak dapat dipungkiri bahwa warisan politik di Indonesia masih mengandalkan figur dan ketokohan sebagai jualan politik. Akibatnya kebesaran partai sangat bergantung pada kebesaran tokohnya, bukan pada ide, manajemen, maupun performancenya. Sebagai bukti nyata masih hidupnya politik tokoh adalah gonjang ganjing beberapa partai Islam yang merasa tokohnya dibajak oleh PKS melalui iklan Guru Bangsanya. Dalam iklan ini PKS memposisikan tokoh-tokoh pahlawan tersebut sebagai milik bangsa Indonesia, dan bukan miliki ormas atau partai tertentu.

Pada saat yang sama politik Indonesia lebih mengarah kepada pertarungan antara tokoh-tokoh bangsa yang potensial. Sesama tokoh saling menjatuhkan. Sesama tokoh saling mengklaim sebagai yang terbaik. Bahkan fanatisme yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh tersebut membutakan mata mereka terhadap kehadiran ide-ide cerdas dan solutif dari tokoh-tokoh yang lain. Sebuah warisan politik yang selama ini menjadi jangkar bagi kemajuan Indonesia.

Oleh karena itu menurut saya maneuver PKS dengan memberikan award kepada 100 pemimpin muda Indonesia dan 8 inspiring woman tanpa memandang suku, agama, jenis kelamin , ideologi dan partai politiknya merupakan sebuah langkah maju yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memilki jiwa besar dan visi Indonesia yang jauh ke depan. Manuver ini telah menempatkan semua tokoh bangsa ini dari kalangan manapun sebagai sosok-sosok yang harus di apreasisasi, sekali lagi tanpa harus memandang perbedaan ideologi.

Dalam ungkapan yang indah Sekjen PKS, Anis Matta mengatakan, “Di PKS banyak orang hebat, tapi di partai lain juga banyak orang hebat. Di PKS banyak reformis, tapi di kelompok lain juga banyak reformis. Oleh karena itu kita mesti keluar dari kandang kita masing-masing, untuk bertemu pada suatu lapangan yang luas. Meneriakkan satu kata yang sama tentang masa depan Indonesia. Dan biarlah di lapangan besar itu, kita menggunakan baju kita masing-masing, dengan warna yang berbeda-beda, tapi dengan satu semangat yang sama. Karena hanya satu kata, Indonesia!”.

Ketiga, misi PKS untuk mengakhiri politik simbol. Manuver terakhir yang dilakukan oleh PKS adalah memunculkan warna kuning sebagai warna dominan pada berbagai atributnya. Manuver ini menuai kontroversi dari berbagai pihak dan dianggap sebagai upaya PKS untuk mendekat dengan partai Orde Baru, Golkar. Dalam kaca mata saya, maneuver ini adalah maneuver politik yang sangat cerdas untuk mulai menghilangkan politik simbol yang selama ini, sadar atau tidak, ikut mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Sebagian pemilih bahkan menentukan pilihannya beradasrkan simbol warna, kuning untuk Golkar, merah untuk PDIP, hijau untuk PPP dan PKB, biru untuk PAN, dan putih untuk PKS. Tidak masuk akal memang, tapi simbol-simbol itulah yang tertanam di alam bawah sadar sebagian pemilih. Oleh karena itu, menurut saya maneuver itu belum selelsai, setelah muncul dengan warna kuning, beberapa waktu yang akan datang PKS akan muncul dengan warna merah, hijau, biru juga putih, untuk meruntuhkan mitos politik simbol tersebut. Seolah-olah PKS ingin mengatakan, “Kuning itu PKS juga, merah itu PKS juga, hijau itu PKS juga, biru itu PKS juga dan putih itu PKS juga”.

Keempat, misi PKS untuk menuju The Next Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, secara jujur saya harus mengakui bahwa bangsa ini belum memiliki visi. Sesuatu yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Amerika besar karena visi. Jepang maju karena visi. India bangkit karena visi. China menjadi raksasa karena visi. Tapi, bangsa ini tak pernah memilki visi. Kita terus tenggelam dalam diskursus dan wacana kita tentang sejarah Indonesia. Waktu kita dihabiskan untuk mencari siapa yang salah pada setiap fase transisi negeri ini. Pemimpin-pemimpin kita terpilih untuk dihujat. Dan kitalah bangsa yang malas untuk memberikan apresiasi. Untuk hanya sekedar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo, bangsa ini begitu pelit hingga menunggu waktu puluhan tahun untuk memberikannya.

Sesungguhnya PKS telah memberikan keteladanan tentang perlunya bangsa ini memiliki visi. Dan syarat untuk melangkah menuju visi The Next Indonesia itu adalah kearifan memaknai sejarah. Apresiasi PKS terhadap Soeharto bukanlah karena uang, seperti yang tersirat di akhir tulisan Ust. Aswar Hasan. Tetapi sebuah ide tentang menyambungkan sejarah antar generasi, sebab peradaban besar adalah karya akumulatif antar genarasi. Bangsa kita ini tidak akan pernah berdiri hanya dengan darah satu orang, hanya dengan air mata satu orang, hanya dengan ide satu orang. Tetapi sebuah karya antar generasi anak bangsa.

Dan terakhir, menurut saya tulisan Ust. Azwar Hasan tersebut adalah apresiasi cinta beliau terhadap PKS. Beliau telah berusaha melakukan tabayyun (sebagai sesama muslim) kepada elit PKS, meskipun belum mendapatkan respon apa-apa. Kader PKS tidak perlu merasa terhakimi oleh judul opini Ust. Azwar Hasan ini yang dalam pandangan saya merupakan sosok bijaksana dan sangat memahami impilikasi yang muncul dari pilihan judul opini ini. Saya yakin, bahwa orang-orang besar hanya lahir dari gelombang kritikan yang juga besar.

0 comments:

Post a Comment