Sunday, December 7, 2008

PEMILU 2009 DALAM TIMBANGAN

Pemilu 2009 tinggal menghitung pekan. Momentum demokrasi lima tahunan ini akan menjadi titik balik bagi bangsa Indonesia untuk menata ulang sistem kepemimpinan nasional yang belum mampu membawa rakyat Indonesia keluar dari krisis. Oleh karena itu momentum Pemilu 2009 ini menjadi sangat strategis sebagai starting point bagi demokrasi baru Indonesia yang selama ini berputar-putar dalam lingkaran setan transisi. Pertanyaannya adalah, sanggupkah kita memanfaatkan momentum ini sebagai starting point era baru demokrasi Indonesia?

Menurut penulis, setidaknya ada tiga fakta yang perlu untuk kita timbang-timbang sebelum menjawab pertanyaan ini:

Fakta pertama, bahwa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik terus melorot. Padahal sejatinya partai politik adalah institusi representasi aspirasi masyarakat yang (mestinya) dipercaya untuk memberikan solusi. Tapi pada kenyataanya, saat ini hampir semua partai politik datang ke tengah masyarakat tanpa ide, sebab sebagian besar partai politik dibentuk memang bukan dengan sebuah ide, melainkan dorongan kepentingan dan kekuasaan. Akhirnya kita menyaksikan kontestansi partai politik dalam meraih simpati pemilih lebih sarat artistik ketimbang solutif. Lebih bernuansa selebritas ketimbang kerja nyata. Lebih menonjolkan entertaining ketimbang fakta. Maka tak heran, partai politik yang memiliki modal cukup kuat memanfaatkan semua media untuk meng-‘iklan’-kan partainya.

Celakanya, ide-ide iklan yang disampaikan demi meningkatkan nilai jual sebagian besarnya sangat narsis. Kemasan yang dikelola secara profesional oleh praktisi komunikasi publik telah menghilangkan unsur pendidikan politik kepada masyarakat dan mengubahnya menjadi media hypnosis melalui audio visual effect televisi. Jika metode itu digunakan untuk meningkatkan popularitas partai politik sebagai kontestan pemilu memang sah-sah saja. Tetapi di satu sisi ada unsur pembodohan di dalamnya. Sebab mindset masyarakat dengan sendirinya akan terbentuk menjadi lebih terlena pada entertaining iklan dan lupa pada permasalahan yang sesungguhnya.

Ada ironi lain yang terikut dalam strategi kampanye ‘iklan’ ini. Yaitu kenyataan bahwa biaya politik kita semakin besar dan mahal. Hingga saat ini saja, partai-partai bermodal besar telah menggelontorkan milyaran rupiah hanya untuk biaya iklan di semua media cetak dan elektronik. Sebuah jumlah yang jika dikalkulasikan akan jauh lebih bermanfaat jika disalurkan melalui model kampanye charity/sosial yang lebih menyentuh masyarakat dan lebih solutif.

Dan yang lebih menyedihkan dari efek kontestansi partai politik yang lebih sarat selebritas adalah dimunculkannya figur-figur selebriti sebagai ‘komoditas’ partai politik untuk mendongkrak nilai jual. Kehadiran mereka sanggup menggeser founding fathers sebuah partai politik yang telah membangun partai tersebut dari nol dengan berdarah-darah dan bercucuran air mata. Idealisme dijual untuk sebuah kursi. Para patriot pembela partai disingkirkan demi mengejar target pemilu. Sebuah keputusan yang akan membawa lembaga-lembaga perwakilan kita lebih mirip panggung sandiwara nantinya.

Fakta kedua, bahwa masyarakat (pemilih) semakin pragmatis. Salah satu penyebab terbesar mengapa masyarakat semakin pragmatis dalam memilih adalah pendidikan politik yang diperoleh dari berbagai Pilkada di tanah air. Pendidikan politik itu bukannya mencerdaskan tetapi malah membodohi, sebab Pilkada yang dilaksanakan sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2008 sarat dengan money politic dan umbar janji.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa momentum Pilkada adalah kesempatan memperoleh rezki tambahan bagi sebagian masyarakat. Mulai dari partai politik , aparat pemerintah, penyelenggara pemilu, tim sukses, hingga setap warga yang memiliki hak pilih. It’s all about the money! Semuanya karena uang! Maka tak heran jika para kontestan Pilkada harus menghamburkan milyaran rupiah demi memenangkan kompetsisinya. Jika menang jadi Raja, jika kalah jadi gila, seperti calon Bupati Ponorogo, Yuli Nursanto.

Pembodohan politik yang juga dilahirkan oleh sebagian besar Pilkada adalah umbar janji. Masyarakat disuguhkan dengan berbagai janji-janji politik yang mengiurkan, seperti oase. Bahasanya direkayasa sedemikian rupa sehingga memiliki interpretasi ganda. Interpretasi bagi pemilih tentu saja berbeda dengan interpretasi narasumbernya. Tetapi interpretasi itu dibiarkan kabur hingga selesainya Pilkada. Dan jika sang kontestan pengumbar janji telah terpilih, maka interpretasi yang sesungguhnya dari janji-janji politik itu pun mulai dibeberkan. Bahasa yang pas kira-kira adalah ‘menipu rakyat’. Tengok saja bahasa: “Gratis dari lahir sampai mati”. Bagi narasumbernya janji ini tentu realistis dengan persyaratan dari A sampai Z. Tapi bagi pemilih, interpretasi bahasa tersebut tentu saja dimaknai lurus, bahwa mereka tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun dari lahir sampai mati. Dan yang bodoh siapa? Entahlah!

Fakta ketiga, bahwa kecurangan pada setiap momentum pemilihan semakin beragam dan kreatif. Curang adalah senjata utama pelaku politik untuk memenangkan kompetisinya. Oleh karena itu kecurangan yang telah bermetamorfosis menjadi ribuan bentuk ini adalah ancaman terbesar bagi Pemilu 2009 menuju era baru demokrasi Indonesia. Memang tidak semua kontestan Pemilu memiliki potensi melakukan kecurangan. Pelaku kecurangan biasanya adalah pihak-pihak yang memilki kekuasaan dan kekuatan, khususnya kekuatan finansial. Dan karena itu mereka sangat berpotensi mencederai pesta demokrasi lima tahunan rakyat Indonesia ini dengan berbagai kecurangan.

Ironisnya, lembaga atau kelompok yang diberikan wewenang untuk mengawasi dan mengantisipasi kecurangan Pemilu ini tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan yang setara dengan para pelaku kecurangan. Sehingga keberadaan mereka lebih menyerupai formalitas demokrasi ketimbang bodyguard untuk melindungi demokrasi. Sehingga kita hanya mampu menonton pertunjukan kecurangan itu berlalu lalang di depan mata kita tanpa sanggup berkata apa-apa, tanpa sanggup berbuat apa-apa. Kita marah, tapi kita tak berdaya.

Masih banyak hal yang dapat kita timbang-timbang untuk menilai seberapa besarnyakah harapan perubahan yang dapat dihasilkan oleh Pemilu 2009 nanti. Setiap kita dengan timbangan yang berbeda tentu saja memiliki kesimpulan yang berbeda. Akan tetapi, apa pun kesimpulan itu, Pemilu 2009 sudah ada di depan mata. Suka atau tidak, mau ataupun enggan, pesta demokrasi lima tahunan ini akan menentukan arah baru bangsa kita, Indonesia.

Bagi penulis, harapan untuk lahirnya perubahan dari Pemilu 2009 ini memang kecil. Akan tetapi berhenti berharap dan memutuskan untuk memaki sejarah yang telah dicapai oleh bangsa kita ini juga bukanlah sebuah solusi. Tetap saja setiap kita harus meyakini bahwa Pemilu 2009 adalah salah satu batu loncatan yang mesti kita tapaki untuk keluar dari krisis dan menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Takdir sejarah bangsa Indonesia ada di tangan kita. Oleh karenanya yang kita perlukan saat ini adalah optimisme akan hadirnya perubahan. Tapi, kita tak boleh menunggu orang lain yang datang membawa bendera perubahan itu. Setiap kitalah yang harus bangkit dengan gagah dan mengusung perubahan itu. Mulai dari diri kita tentu saja. Wallahu A’lam.

0 comments:

Post a Comment